Kesejahteraan Rakyat dalam Sistem Demokrasi Hanya Tabu

Opini485 views

Lamongan,Kabarone.com-Tepat pada 15 september dalam kelender internasional memiliki momen penting, salah satunya “hari demokrasi internasional.” Momen seperti ini seharusnya bisa dimanfaatkan para rakyat Inndonesia untuk memperingati hari internasioanl, dikarenakan peringatan seperti ini bisa dijadikan kesempatan untuk kesejahteraan. Bukan rahasia lagi, ‘miskin’ kesejahteraan seakan menjadi pemandangan di lingkungan sekitar.

Ada yang menarik dari dinamika perkembangan demokrasi di negeri ini sejak reformasi bergulir 1998 lalu. Satu hal yang menonjol adalah proses pemaknaan serta pesan demokrasi yang sampai ke masyarakat adalah menguatnya ruang-ruang “pergesekan” antara berbagai unsur, baik horisontal sesama masyarakat warga maupun vertikal antara warga dengan warga serta warga dan aparat. Celakanya, ruang-ruang “pergesekan” tersebut senantiasa ditandai dengan prilaku kekerasan. Seakan kekerasan merupakan bagian yang menjadi pembenaran untuk menjawab berbagai proses persentuhan kepentingan yang terjadi di masyarakat.

Lantas pertanyaan yang muncul adalah, apakah demokrasi memang masih merupakan sistem yang pas untuk menjawab arah berkenegaraan yang lebih baik dan mensejahterakan segenap rakyat Indonesia? Dan kalaupun memang sudah tepat, lalu pada titik mana arah demokrasi ini kemudian menyimpang dari rel sejatinya?

Barangkali, tidak pada tempatnya lagi bila kita ingin “menggugat” masa lalu, di mana reformasi 1998 yang sejatinya merupakan momentum emas guna menjadi pijakan baru bagi arah demokrasi keindonesiaan kita yang lebih baik, kini menjadi “etalase pajangan” yang hanya manis di bibir saja. Kini, realitas yang tampak adalah sebuah carut marut sistem yang terjadi disegala lini. Di sini juga bukan tempatnya untuk membenarkan klaim sebagian pengamat yang mengatakan bahwa reformasi telah “dibajak” oleh para petualang politik justru tepat pada saat lahirnya.

Di sini, kita hanya mencoba sedikit meletakkan perspektif lain dalam mengurai benang kusut arah demokrasi kita. Itupun bila kita sepakat bahwa demokrasi merupakan sistem yang paling moderat dan cocok bagi masyarakat kita dalam menggapai arah kesejahteraan hidupnya yang lebih baik. Persoalannya, barangkali adalah bahwa konsep demokraksi yang diformat dalam sistem ketatanegaraan kita, terkesan masih “mengantang asap”.

Demokrasi yang sejatinya merupakan ruang interaksi pubik yang mengandalkan dialog sebagai roh yang mengidupkannya serta basis kewarganegaraan yang kuat sebagai kerangka untuk menciptakan adanya kesetaraan, belum juga menjadi bagian yang menyatu dalam sistem keseharian kita.

Dengan begitu, demokrasi kemudian hanya berhenti pada dimensi prosedural saja untuk tak mengatakannya macet hanya pada tataran retorika semata. Dalam bangun besar kenegaraan kita, demokrasi memang telah tampil sebagai “bingkai emas” yang dipuja-puji bahkan sampai ke dunia internasional. Pada tataran ini, kita memang telah berhasil menyakinkan dunia luar bahwa Indonesia yang notabene sangat pluralistik mampu menempatkan diri sebagai negara demokrasi.

Di tengah sejarah kebangsaan yang senantiasa menyimpan sekam konflik dari berbagai dimensi, baik etnis, agama maupun ideologi politik, bangsa ini bisa memperoleh momentum untuk menegakkan sendi-sendi demokrasi. Hal ini memang merupakan sebuah kebanggaan tersendiri.

Namun sebaiknya kita jangan menjadikan hal tersebut sebagai ukuran dari keberhasilan demokrasi kita. Karena bagaimana pun, sebuah sistem demokrasi, bukanlah tujuan. Demokrasi hanya “kendaraan” yang dipakai untuk menggerakkan berbagai sub sistem lain untuk tujuan yang lebih luhur, yakni kesejahteraan segenap rakyat Indonesia. Dan bila kesejahteraan tersebut tidak tercapai, atau bahkan semakin memerosotkan masyarakat ke dalam lingkaran kemiskinan serta kesemrawutan hidup, maka bisa dikatakan bahwa demokrasi telah gagal.

Dalam perspektif ini, setidaknya ada beberapa parameter yang menjadi faktor paling berperan dalam menjadikan sistem demokrasi sebagai “kendaraan” untuk kesejahteraan segenap masyarakat. Karena bila hal itu tidak tercermin dalam keseharian tata kelola pemerintahan serta ruang interaksi publik, maka kita memang hanya “mengantang asap” ketika berbicara tentang demokrasi.

Pertama, semakin terbentuknya ruang kesadaran kewarganegaraan pada masyarakat. Kesadaran tentang nilai-nilai kewarganegaraan inilah yang titik tumpu untuk membangun interaksi publik yang lebih berwarna dialog dan berdimensi kesetaraan.

Tanpa adanya ruang kesadaran tersebut, maka yang terlihat adalah berkuasanya kesadaran “massa” yang demikian gampang dimanipulasi oleh berbagai kepentingan. Pada tataran tertentu, gejala inilah yang sering terlihat dalam keseharian interaksi publik kita saat ini.

“Massa” kemudian terlihat mendominasi proses-proses pengambilan keputusan di ruang publik. Di sini, kita harus membedakan antara “massa” dengan kelompok-kelompok masyarakat yang berkumpul karena persamaan pemikiran dan kepentingan. “Massa” adalah kerumunan orang yang sebenarnya demikian cair yang hanya memakai kekuatan kerumunan tersebut untuk menekan dan memaksakan kehendak.

Karena kekuatan “massa’ yang demikian tak lagi terkendali ini. Demokrasi kemudian terkesan sebagai kebebasan untuk memaksakan apa pun dan kemudian menghalalkan kekerasan untuk pemenuhan kehendak itu. Tidak mengherankan bila hampir setiap saat kita menyaksikan bagaimana kekerasan dari sekelompok massa dipertontontan secara vulgar.

“Massa” yang sebenarnya terbentuk untuk kepentingan sesaat menjadi demikian terlihat beringas. Dan terkadang, di bawah tekanan “massa” itulah keputusan-keputusan publik diambil. Inilah yang menjadikan berbagai keputusan publik terlihat sangat tidak mengorientasikan nilai-nilai demokrasi, di mana dialog serta kesetaraan yang menjadi titik tumpunya.

Dalam konteks ini, alih-alih akan membangun sistem demokrasi yang berbasis akal sehat, kita akan terjerembab pada situasi chaos yang menjadikan kekerasan sebagai pembenaran untuk memenuhi kehendak. Di sini, kita akan menemui apa yang disebut sebagai kekuasaan “massa” yang menjadi tirani dan mampu mengatur apa keputusan-keputusan publik apa pun.

Bila fenomena ini terus saja semakin menguat, lebih jauh lagi, kita akan memasuki tahap di mana sendi-sendi demokrasi menjadi semakin keropos dan perlahan menjadi negara yang dikendalikan oleh “mafia dan preman” Kekuatan “mafia dan preman” ini telah mulai tanpak. Berbagai kasus hukum, sosial kemasyarakatan yang membelit bangsa ini terlihat dengan gampang dikendalikan oleh sebuah kekuatan yang berada diluar sistem kenegaraan kita yang sah. Yang paling anyar adalah bagaimana kita menyaksikan Tragedi Mesuji dan Bima yang demikian memilukan itu muncul karena adanya kekuatan “mafia dan preman” tersebut.

Kedua, hal yang paling menentukan dari terbangunnya sebuah demokrasi yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat adalah berjalannya sistem penegakan hukum (law enforcement) yang kuat dan berkeadilan. Tanpa adanya penegakan hukum yang mampu memberi rasa keadilan pada masyarakat, maka segala macam omongan tentang demokrasi bisa dipastikan hanya ada pada tataran basa basi semata.

Hukum pada sebuah sistem demokrasi adalah pilar yang menjadikan sistem ini mampu berdiri. Dan bila pilar ini runtuh maka dengan sendirinya sistem demokrasi pun akan turut tumbang.

Bila hal ini dikaitkan dengan fenomena sistem berdemokrasi kita di Indonesia, maka yang terlihat adalah sebuah ironi yang demikian memiriskan hati. Di Indonesia, hukum dan penegakannya telah menyimpang jauh dari sebuah sistem yang sama sekali tak lagi menjadi tempat untuk mencari keadilan.

Carut marut sistem hukum kita memang telah menjadi sebuah keprihatinan yang telah lama. Rasa keadilan masyarakat menjadi sesuatu yang terlihat demikian mewah dan mahal. Dalam kondisi seperti ini, hukum kemudian menjadi tempat untuk berlindung para pelanggar hukum. Di sini, politik kemudian menjadi panglima dan mampu menyetir arah penegakan hukum kita.

Ini kemudian menjadi semacam lingkaran setan yang tak berujung. Runtuhnya kewibawaan hukum di hadapan masyarakat, kemudian melahirkan ketidak percayaan. Masyarakat pun kemudian cenderung mengambil jalan pintas untuk melalukan penegakan hukum dalam versinya masing-masing.

Apalagi sudah menjadi rahasia umum bila aparat penegak hukum yang sejatinya merupakan para “pendekar” yang menjadi palang pintu penegakan hukum, disinyalir kemudian berubah menjadi “centeng-centeng” para penguasa dan mafia. Bila hal tersebut memang terjadi, memang kita tak layak lagi untuk mengatakan bahwa sisitem kenegaraan kita adalah demokrasi.

Dan kalau pun kita masih menganggap bahwa sistem yang berjalan di negara kita adalah sistem demokrasi, maka sistem itu lebih pada sistem yang “seolah-olah” demokrasi. Sebuah sistem demokrasi yang “mengantang asap” dan hanya menjadi ruang pajangan untuk dipamerkan pada dunia internasional. Pada sisi ini, rakyat pun semakin di tinggalkan dan hanya dibutuhkan hanya pada saat ingin dimanipulasi menjadi “massa” untuk kepentingan ekonomi dan politik segelintir orang. Semoga semua ini tidak terjadi di negara kita.* (Fathan Faris Saputro, penulis adalah anak petani desa di Lamongan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *