Jakarta kabarone.com,-Masyarakat yang mencari keadilan sangat sulit mendapat keadilan di negara hukum Indonesia tercinta ini, apalagi masyarakat yang tidak mengerti atau awam hukum serta masyarakat miskin dan tidak punya becking. Maka akan menjadi korban mafia hukum dan tidak akan mendapatkan keadilan atau apa yang disebut demi keadilan berdasarkan ke Tuhan an yang Maha Esa yang diucapkan Majelis hakim saat memutuskan suatu perkara.
Apalagi peradilan terkait kasus tanah, sangat sulit dirasakan masyarakat mendapatkan keadilan dari penegak hukum hakim Pengadilan tingkat pertama Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi Mahkamah Agung (MA). Hal itu dialami Yumianto, yang diduga korban mafia tanah. Selaku pembeli tanah yang digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, tergugat wanprestasi dalam perkara No.898/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Brt, penggugat PT. Pesona Sahabat Rumiri (PT.PSR), Yumianto tidak mendapatkan keadilan dari majelis hakim dan dihukum mengingkari perjanjian.
Selaku pembeli tanah 11 hektare menggunakan uang pribadinya dari warga Desa Cikuda, Kecamatan Parung Panjang Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan tanahnya masih terdaftar dalam buku tanah Desa setempat, buku tanah Kecamatan, namun status tanahnya bisa berubah kepemilikan menjadi nama perusahaan walau belum menerima pelunasan transaksi jual beli. Anehnya, Yumianto menjadi tergugat di Pengadilan atas dasar perjanjian, dimana Yumianto selaku pembeli tanah dari warga akan melepaskan tanahnya kepada PT. PSR.
“Dengan alasan pemeriksaan surat surat pelepasan hak dari warga, tanpa curiga surat surat diserahkan langsung oleh Yumianto. Namun surat tersebut sudah berpindah tangan ke Rudy Cahyadi Sukandadinata, pihak perusahaan PT Pesona Sahabat Rumiri, padahal belum menerima pelunasan pembayaran tanah dari PT. PSR tersebut”, ujar Yumianto
Anehnya, PT PSR, menggunakan alibinya bahwa tergugat tidak bisa memenuhi luas tanah sesuai perjanjian. Padahal menurut Yumianto, melalui kuasa hukum sudah dijelaskan bahwa 11 ha sudah diserahkan dan dalam addendum perjanjian luas yang diperjanjikan adalah 10 hektare. Tidak terpenuhinya luas tanah seluas 1,5 hektare sehingga tanah dikembalikan PT. PSR, akan tetapi Yumianto punya bukti pengembaliannya tanpa ada penjelasan kenapa dikembalikan, ucapnya.
Yumianto menduga, mungkin ada prasangka pihak PT.PSR tanah tersebut bermasalah karena ada surat somasi dari PT BADRA. Pada hal pihaknya telah membantah surat somasi tersebut. Sebagaimana surat pernyataan yang diterbitkan Camat Parung Panjang, Jawa Barat, sesuai nomor 133.IV.2019, menyatakan, Saudari Bony selaku kuasa dari PT BADRA telah dijadikan tersangka dalam kasus penyerobotan tanah yang dilaporkan Yumianto. Laporan yang dibuat Yumianto dikarenakan surat somasi tidak memiliki alas hak sebagaimana surat nomor : B/741/IX/2019/Dit Reskrimum, Polda Jawa Barat.
Walau Yumianto memiliki alas hak atas kepemilikan tanah yang dibelinya dari warga Cikuda itu, namun sangat kecewa, ” bagaikan disambar petir disiang bolong” mendengar putusan sidang perdata Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pada hal saat persidangan melalui Penasehat hukum, Yumianto sudah meminta supaya dihadirkan saksi dari PT BADRA. Sebab gugatan PT PSR, mendalilkan tanah yang dibelinya dari Yumianto, tumpang tindih dengan kepemilikan PT BADRA, tapi permintaan pemanggilan saksi tidak di kabulkan hakim Pengadilan Jakarta Bara.
“Apakah majelis hakim pengadilan tidak mengerti logika, sebab kalau yang bisa menjelaskan tanah itu bukan pihak ketiga, melainkan pemilik tanah yang bisa menerangkan warkah tanahnya dengan di dukung dokumen atau alas haknya atas tanahnya, bukan karena alibi seperti kepemilikan PT BADRA”, ucapnya 29/5/2021.
Sementara menyikapi putusan Pengadilan pun Yumianto sangat bingung, sebab di satu sisi dalam putusan tidak membatalkan perjanjian Yumianto dengan Rudy Cahyadi Sukandadinata (PT PSR), namun membatalkan addendum perjanjian. Padahal alasan tidak membatalkan perjanjian dikarenakan produk Notaris tapi kok bisa membatalkan addendum yang juga produk Notaris, bagaimana putusan majelis hakim tersebut, ujarnya.
Lebih aneh lagi dalam gugatan minta dibatalkan perjanjian diputuskan oleh PN dimodifikasi menjadi “cacat hukum perjanjiannya”, dimana letak kepastian hukumnya ketika dimohon dibatalkan demi hukum diputuskan cacat hukum.
Yumianto saat persidangan meyakini majelis hakim PN Jakarta Barat, akan bertindak profesional. Namun kenyataannya majelis hakim gagal membuktikan atau pura pura tidak melihat bahwa Yumianto pemilik surat tanah. Yumianto yang membeli langsung dari warga dengan uang pribadinya dikalahkan PT. PSR, yang membeli dari Yumianto tanpa pelunasan dengan berbagai alibi diatas (tanah bermasalah, tidak penuhi luas yang diperjanjikan). Sementara, yang paling parah tanpa pelunasan tapi PT PSR telah kuasai tanah serta mengalihkan perizinan tanah bahkan telah miliki izin lokasi diatas tanah tersebut.
Dalam permasalahan yang dialami Yumianto tersebut, pihaknya berharap hakim di tingkat Kasasi dapat melihat permasalahan dengan lebih profesional dan adil. Kelalaian yang sengaja dilakukan majelis hakim PN Jakarta Barat, supaya menjadi pertimbangan Mahkamah Agung (MA) untuk memutuskan Kasasi tersebut”, ucapnya.
Menurut Yunianto, bahwa perusahaan PT.Badra memiliki alas hak surat palsu diatas tanah tersebut. “Kepalsuan surat perusahaan terbukti dengan ketiadaan alas hak yang dimilikinya, terlebih pihak Kecamatan dan Desa telah meminta penunjukan alas hak yang dimiliki perusahan, namun tidak pernah ada Alas Hak asli yang bisa ditunjukannya. Bukti kepemilikan pihak perusahaan tidak terdaftar di buku register Desa Cikuda dan buku tanah Kecamatan”, ujarnya.
Bukan hanya masalah sidang Perdata kasus laporan Pidana yang dilaporkan Yumianto juga tidak digubris penyidik. Yumianto harus gigit jari karena perkaranya dihentikan penyidik sebagaimana surat penghentian No. B/592/VIII/2020/Dit Reskrimum yang intinya “untuk kepastian hukum perkaranya dihentikan demi hukum”.
Untuk diketahui, kata Yumianto, bahwa penanganan perkara tersebut penyidik telah memeriksa 26 saksi, dilakukan gelar perkara dan tersangka sudah ditetapkan, bahkan sudah didaftarkan untuk disidangkan pada bulan desember 2019, namun pada bulan Agustus 2020, sesuai gelar perkara, penyidik menerbitkan surat ketetapan S Tap/121.b/VIII/2020, Ditreskrimum, tanggal 19 Agustus 2020.
Bahkan jawaban pengawas internal (Irwasda Polda Jabar) dalam suratnya menjelaskan bahwa perkara telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri, dan tersangka tidak pernah menghadiri sidang, kemudian memberikan SP2HP (berisikan penghentian kasus), dan hal inipun serupa dengan jawaban dari Kompolnas melalui surat Nomor:B-1583D/Kompolnas/01/2020, kata Yumianto.
Penulis : P. Sianturi