PEMILU; PESTA DEMOKRASI BUKAN PESTA OLIGARKI

Opini286 views

By Komarudin SE,M.kesos sekretaris DPC Demokrat Lamongan

Lamongan,Kabar One.com-Pemilihan Umum atau yang disingkat dengan nama PEMILU merupakan pesta demokrasi (Pesta Rakyat untuk memilih Wakil dan pemimpinya) yang dilakukan lima tahunan sekali, pemilihan umum dilakukan dengan tujuan agar sistem ketatanegaraan ini bisa berjalan secara demokratis, baik prosedural maupun subtansinya,

Pemilihan umum selain sebagai pesta demokrasi pemilu juga di definisikan sebagai sarana untuk memilih wakil rakyat yang berdaulat dan demokratis. Atau bisa dikatakan pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Pemilihan umum merupakan pilar utama dari sebuah negara demokrasi. Melalui pemilihan umum, rakyat memilih wakilnya( DPRD, DPRD PROV, DPR RI, DPD RI, serta memilih pemimpin seperti Presden dan Wakil Presiden, Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor (UU) 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) pasal 1 ayat (1) “Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Dalam pandangan Almarhum Cak Nur demokrasi akan berjalan degan baik bila berdemokrasi dilandasi dengan moralitas yang baik, begitu juga sebaliknya demokrasi akan menjadi suram dan ganas bila demokrasi tampak moralitas. Penting sekali moralitas menjadi pondasi dalam membangun peradaban bangsa ini agar lebih beradab, mustahil kita akan menuju puncak peradaban maju dan baik jika komitmen kita sebagai manusia yang bermoral tidak tumbuh dalam masing-masing diri kita sebagai bangsa.

Sebagai manusia atau zoon politicon, dalam dirinya terdapat banyak tabiat yang berpotensi mendistroyer tatanan sosial dan bangsa ini. Maka demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan harus dibangun dengan moralitas tinggi. manusia dalam pandangan kang jalal selain memiliki sifat jalal juga memiliki sifat jamal begitu juga dalam berbagai pendapat para sosiolog manusia selain sebagai homo ludens manusuia juga sebagai homo deva tinggal bagaimana sistem ini bisa menghantar peradabanya dengan baik, maka moralitas lah yang harus dibangun sebagai pondasinya.

Jika kita telaah secara cermat Demokrasi yang ada sekarang ini telah mengalami distorsi jauh dari substansinya, Walaupun demikian dalam konteks ini, Indonesia masih memenuhi persyaratan sebagai negara demokrasi elektoral. Indonesia juga masih mampu melaksanakan pemilu namun proses dan yang dihasilkan jauh dari kualitas demokrasi.

Demokrasi sekarang semakin tersandra oleh konflik kepentingan (conflict of interest) yang bersifat pribadi dan kelompok, perilaku politik cenderung lebih mengutamakan pencitraan daripada substansi, mengkooptasi berbagai instrumen vital demi mengembangkan kekuasaan dan kepentingan korporasinya.

Demokrasi hanya dijadikan alat kepentingan untuk mengendalikan masa dengan propaganda-propaganda murahan, semua diorentasikan demi kekuasaan semata, mengancam kohesi sosial. terjadi pembelahan rakyat yang begitu meruncing dengan memunculkan opsi pilihan hanya dua calon presiden, kesannya memang seolah-olah demokrasi, namun ini sebetulnya bentuk dari frozen Demokration demokrasi yang beku, jau dari subtansinya. Selain itu dua pasang calon presuden merupakan produk yang sudah disiapkan secara matang oleh para oligor. semua sebenarnya sudah didesain dengan piranti yang sudah disiapkan untuk calon persiden pilihanya.

Jika kita berani fair untuk mendefinisakan, pada dasarnya pesta demokrasi ini adalah pestanya para oligarki yang penuh dengan kepentingan, dan rakyat hanya sebagai obyek dan korban dari semua nafsu kepetingan kekuasaan. Demokrasi yang seharusnya sebagai manifes dan bentuk dari kedaulatan rakyat kini telah dibajak oleh para oligarki. Lebih dari itu kohesi sosial mulai retak dengan berbagai pertikain dipublik sebgai hipotesisnya, dan semua adalah efek dari desain demokrasi yang tidak pada subtansinya.

Selain moralitas menjadi penting, bila kita merefer kembali apa yang digagas oleh Jurgen Habermas tentang demokrasi deliberatif, dimana model demokrasi ini telah melahirkan aturan hukum yang legitimasinya bersumber dari kualitas prosedur deliberasi, bukan saja dalam lembaga-lembaga formal negara (seperti parlemen), tapi juga yang terpenting dalam masyarakat secara keseluruhan. Artinya, keputusan-keputusan politik hanya bisa diterima dan mengikat semua anggota masyarakat jika ia merupakan produk dari sebuah proses dialog yang berawal pada diskursus masyarakat, yang bergerak menuju parlemen melalui prosedur-prosedur demokratik dan konstitusional.

Setiap kebijakan publik harus diuji terlebih dahulu melalui konsultasi publik atau lewat diskursus publik dengan keberadaan “ruang publik” (publik sphere). Agar rakyat memiliki kedaulatanya yang sebenar-sebenarnya.

Demokrasi harus dikembalikan pada subtansinya bahwa rakyat lah yang memiliki kedaulatan atas demokrasi, rakyat harus bangkit atas semua pendominasian yang dilakukan oleh oligarki dengan semua kekuatan yang dimiliki. Pesta oligarki harus dirubah menjadi pesta rakyat yang bener-bener berdaulat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *