Menelisik Kampung Pangan Kadaluwarsa Di Cirebon, Tindakan Satgas Pangan Diduga Tebang Pilih

Kabarone.com, Cirebon – Sudah puluhan tahun silam dikenal kampung kadaluarsa hingga menjadi usaha turun temurun sejumlah warga desa di Kabupaten Cirebon bergerak usaha pangan rijek atau afkir (kadaluarsa) dari distributor /pabrik pangan yang pengrajin atau pengusahanya kerap kali jadi target pengrebekan pihak aparat.
Bahan baku pangan berupa afal/afkir wafer, pasta coklat, rentek ayak, rentek tik-tak, rentek wafer, retur polong, retur rege polong, retur Sukro polong, afkir oven, akar, blotong, centos, afal kacang garing, afal kulit biji-bijian, afal oce, afal kacang atom, afal biji-bijian dan jenis pangan lainnya dapat beli dari distributor/pabrik.
Informasi media ini menyebutkan barang pangan tersebut awalnya pangan yang tidak laku numpuk dibuang oleh pabrik/distributor hingga didengar oleh masyarakat desa Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon untuk dimanfaatkan. Kemudian entah awalnya siapa yang memulainya, sampai pangan dapat dibawa menjadi kegiatan home industri warga Desa Sampiran, Kerandon dan Desa Cirebon Girang Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon.
Sesampainya barang pangan ditangan pengrajin, kemudian disortir (dipilah-pilah) dikelompokkan sesuai jenisnya dan pangan yang nampak masih bagus dikemas dijual lagi kesentra pasar pangan di wilayah Kecamatan Weru dan sekitarnya. Sebelumnya pangan yang terlihat masih basah minyak terlebih dahulu ditiriskan untuk diambil sisa-sisa minyak goreng (minyak jelantah), terus di proses penjernihan dan minyak jelantah dijual kekosumen yang datang ke sentra produksi atau di kirim kepemesannya.
Sedangkan sisa pangan rusak berat (limbah) atau tidak layak konsumsi juga masih dapat diolah dengan cara dimasak (dikukus) terlebih dahulu, kemudian dipres hingga keluar minyaknya dan melalui proses penjernihan hingga menjadi minyak jelantah lagi. Begitu juga sisa pangan setelah dipres berbentuk bulat pipih seperti ukuran martabak itulah yang disebut blendet.
Blendet itu awalnya dihasilkan dari kancang yang diproses dikukus dan didedet (dipres) di ambil minyak nabati (minyak kacang) dan bungkil dijual untuk campuran membuat tempe dan dapat pula diolah / digoreng menjadi cemilan yang disebut bungkil. Hingga limbah pangan tidak ada yang terbuang percuma. ” Semua limbah pangan dari pabrik dapat diolah menjadi pundi-pundi rupiah sampai sekarang ini,” kata Komunitas Pemerhati Jajanan Pasar Kabupaten Cirebon, Drs. Sholeh Mahfuz pada media ini Kamis (08/06-2017) di lokasi.
Namun dalam perkembangannya limbah pangan yang semula tidak bermanfaat. Kini limbah pangan ditangan-tangan terampil ternyata dapat menghasilkan pundi-pundi uang rupiah. Hingga limbah pangan menjadi barang berharga menjadi rebutan. Akhirnya terjadi persaingan usaha tidak sehat gara-garanya para pelaku usaha saling berebut limbah pabrik tersebut.
Karena bahan pangan apapun jenisnya seperti limbah ciki, kerupuk, sukro, kacang dan lain sebagainya setelah dikukus dan dipers ternyata dapat menghasilkan minyak jelantah. Juga sisa pangan setelah dipres menjadi blendet dapat diolah lagi menjadi pakan ternak, baik itu pakan ternak sapi, kambing, ayam maupun pakan ikan
Persoalan rebutan limbah pangan sampai persaingan tidak sehat, diketahui pihak manajemen pabrik. Kemudian timbul aturan untuk dapat membeli limbah pangan melalui proses lelang sampai saat ini. Proses lelang tawar-menawar yang terjadi persaingan makin tinggi dan barang pangan selalu dimenangkan oleh penawaran paling tinggi, paparnya.
Akibat proses lelang limbah pangan menjadi tidak sehat. Dampaknya puluhan anggota Asosiasi Pengusaha Kecil Kabupaten Cirebon bergerak di bidang pengelolaan limbah pangan tidak mampu ikut lelang yang disyaratkan pihak pabrik. Bahkan mulai mencari bentuk usaha alternatif, karena limbah pangan akan di adakan lelang lagi sekitar empat bulan sekali dan apabila saat lelang kalah kan tidak dapat barang, tentu akibat tidak dapat barang.
Bilamana tidak ada kegiatan home industri dan secara otomatis buruh sortir jadi kehilangan pekerjaannya yang akan menimbulkan banyak pengangguran, ungkapnya.
Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polres Cirebon boleh saja menindak pelanggaran secara obyektif dan jangan mengobok-obok home industri kampung makanan kedaluwarsa hanya di salah satu/dua tempat usaha rumahan saja.
Perlu pertimbangan ada masyarakat tiga desa di Kecamatan Talun dan bagaimana dengan daerah lainnya bergerak dalam usaha rumahan yang serupa serta dari sumber limbah pangan yang sama pula tetapi kenapa hanya orang-orang kecil saja yang dieksekusi. Sedangkan katagori pengusaha besar tidak kena sasaran.
Keberadaan limbah pangan itu sendiri sudah menjadi rahasia umum. Banyak pihak yang mengetahui persis seluk beluk tentang home industri yang bahan bakunya dari limbah pangan tentunya dari unsur aparatur negara yang ada ditingkat bawah (aparat pemerintah desa setempat).
Selain itu limbah pangan saat dibawa dari pabrik tidak secara sembunyi, melainkan dengan mobil besar jenis truk tronton atau truk gandeng. Sehingga kedatangan & bongkar muat barangnya mudah diketahui oleh aparat keamanan.
Apalagi menggunakan angkutan kendaraan besar yang bobotnya diatas 5 ton tidak dapat masuk kejalan desa, kalau tidak melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan pihak terkait.” Artinya keberadaan home industri legal, sudah diketahui aparat setempat, terutama saat pemiliknya mengurus perizinan usaha home industri. Jadi sangat mustahil kalau lembaga publik tidak mengetahui kondisi home industri yang sebenarnya,” ungkapnya.
Jadi kalau Satgas Pangan hendak melakukan operasi pangan yang tidak layak konsumsi jangan setengah-setengah. Semuanya saja di razia dan dapat dipastikan disetiap gudang isinya pangan kadaluarsa. Sebab sumber bahan pangannya yang dibeli secara lelang dari pabrik yang sama. ” Kalau memang pemerintah (Satgas Pangan) benar-benar menegakkan supremasi hukum, menjadikan hukum sebagai panglima tentu didukung, maka jangan lakukan operasi tebang pilih, pintanya.
Tegakkan hukum & masyarakat merasakan keadilan, maka siapapun yang melanggar wajib diberikan sanksi sesuai tingkat kesalahannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum yang berlaku di negara kesatuan republik Indonesia. Agar yang melakukan pelanggan menjadi sadar dan efek jera.
Contohnya lima tahun lalu pengusaha H Jayadi Bin Rawija hanya vonis 4 bulan penjara 1 tahun percobaan dan terpidana tidak menjalankan hukuman badan, kecuali terpidana H.Jayadi dalam kurun waktu satu tahun melakukan pelanggar hukum atau mengulangi perbuatannya.
Demikian amar putusan sidang perkara Nomor 55/Pid.G/2012 yang dibacakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumber H.Sulasdiyanto, SH didampingi hakim anggota Lucius Sunarno SH, MH dan Ika Lusiana Riyanti SH dalam amar putusan menyatakan H Jayadi Bin Rawija terbukti dan menyakinkan melakukan tindak pidana mengedarkan pangan tidak layak konsumsi manusia atau makan sudah kadaluarsa dan bau tengik, Selasa 24 April 2012 lalu.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumber H Sulasdiyanto, SH menegaskan perbuatan terdakwa H Jayadi Bin Rawija melanggar Undang undang Republik Indonesia ( UURI ) Nomor 48 Tahun 2009, UURI Nomor 49 Tahun 2009, UURI Nomor 8 Tahun 2001 pasal 21 huruf d Jo pasal 55 huruf d UURI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan peraturan lain yang berkaitan.
Pertanyaannya siapakah yang menjamin terpidana H Jayadi menjalankan hukum tersebut dan apa ada aparat penegak hukum yang mengawasi perilaku terpidana dan spesifikasi pelanggaran yang dimaksud seperti apa.
Karena sejak usahanya jadi perkara sampai masuk pengadilan nampaknya tidak berpengaruh bagi H Jayadi. Sebab terlihat usaha rumahannya terus berlanjut melakukan kegiatan seperti biasanya sampai sekarang ini. ” Artinya sanksi hukum tidak ada efek jera buat pengusaha besar seperti H.Jayadi Bin Rawija,” paparnya.
Faktanya usaha rumahan sudah turun menurun itu tak pernah berhenti, karena memang usaha limbah pangan sangat menjanjikan hingga mampu membangun gudang luas, rumah mewah, membeli kendaraan dan lain sebagainya. “Selain dapat menutupi hajat kebutuhan sehari-hari & dapat untungnya berlipat, sebab tidak ada sisa limbah yang terbuang. Semua limbah pangan dapat jadi uang,” ungkapnya.
Langgengnya usaha limbah pangan yang digelutinya sudah turun menurun, meski secara kasat mata tidak layak konsumsi. Akan tetapi hingga saat ini belum mendengar ada korban setelah orang memakan pangan tersebut.
Bahkan pengrajin atau pengusaha pangan kadaluarsa bertebaran di pelosok desa ini. Sebab selama ini belum ada hasil kajian atau penelitian dari pihak yang berwenang yang menyatakan bahaya/berdampak bila mengkonsumsi pangan itu, jelasnya.
Meski demikian jikalau bahan pangan kadaluarsa tersebut supaya tidak disalah gunakan untuk konsumsi makanan manusia, maka wajib ditegakkan supremasi hukum & komitmen pemerintah sendiri membuat larangan kepada distributor/pabrik pangan dalam keadaan utuh. ” Untuk dapat menuntas persoalan tersebut, artinya distributor dan pabrik pangan disyaratkan harus mempunyai mesin penghancur limbah makanan sejenis mesin penghancur alat kesehatan rumah sakit atau sampah, ” tegasnya.
Tidak cukup distributor & pabrik pangan menjual limbah makanan dengan mengikat perjanjian/pernyataan barang (pangan) yang di beli adalah pangan kadaluarsa dan tidak layak dikomsumsi manusia dan nyatanya setelah berpindah tangan (dibeli) justru disalahgunakan, paparnya.
Berdasarkan fakta yang terjadi selama ini dan demi menjaga kesehatan bangsa Indonesia, jadi sebaiknya distributor/pabrik pangan hanya mengeluarkan limbah pangan kadaluarsa yang sudah benar-benar sudah dihancurkan atau jadi tepung, pungkasnya.***Mulbae

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *