Oknum Perhutani Diduga Bertindak Sewenang-Wenang Terhadap Pesanggem, Harus Ditindak Tegas

Daerah, Regional2,608 views

Kabarone.com, Lamongan – Puluhan petani di wilayah Kemantren Ngegreng BKPH Kambangan KPH Mojokerto Perum Perhutani Regional Jawa Timur melakukan protes atas dugaan kesewenang-wenangan oknum pegawai Perhutani.
Kamis, (5/10/2017).

Selain sebagai bentuk penolakan terhadap dugaan kesewenang-wenangan oknum perhutani tersebut, masyarakat kawasan hutan soal penggarapan persil (pesanggem) milik perhutani.

Berdasarkan hasil keterangan salah satu pesanggem (NO’) menjelaskan, bahwa saya juga ikut menggarap persil diwilayah area tersebut seluas 1 hektar dan entah “tak ada angin tak ada hujan” kok dari pihak perhutani tiba-tiba memberikan himbauan juga kepada para pesanghem yang lainnya untuk menghentikan penggarapan persil diwilayah tersebut, padahal saya dan kurang lebih dari 30 orang pesanggem sudah membayar pajak sewa lahan yang dibebankan pada kami dan pertahun kami membayar dengan ketentuan bervariasi bagi lahan yang luasnya di atas satu hektar dikenakan Rp 300.000,- dan bagi lahan yang luasnya kurang dari satu hektar dikenakan Rp 100.000,- dan selanjutnya kami juga menyetor hasil panen sesuai dengan jenis hasil panen kami baik padi atau jagung mulai dari setengah sak sampai satu sak. Uangnya kami setorkan ke Kepala Blok Rantio, jelasnya.

Lebih lanjut, yang menjadi keluh kesah kami semua menjadi geram atas tindakan ini, kenapa hal ini tidak diberitahukan jauh-jauh sebelumnya baik lewat pemberitahuan lisan ataupun melalui surat resmi karena saat ini lahan tersebut sudah diperbaiki dan dibersihkan untuk persiapan awal musim tanam setelah hujan tiba nanti dan yang pasti kami sudah mengeluarkan biaya banyak untuk perbaikan lahan.
Hal ini kami menyimpulkan bahwa ada dugaan tindakan tersebut memang disengaja untuk menguntungkan pihak perhutani karena ada investor yang masuk sebagai penggarap atas lahan tersebut,” lanjutnya.

Sementara Ratio Kepala Blok Perhutani wilayah Ngegreng saat di konfirmasi wartawan mengatakan, mengenai hal tersebut dijelaskan olehnya kenapa kok pihak perhutani meminta masyarakat petani hutan menghentikan aktifitas pada persil yang mereka garap, hal ini karena adanya MoU (Perjanjian Kesepakatan) dengan pihak Investor, bahwa untuk lahan perhutani yang seluas kurang lebih 14 hektar tersebut akan ditanami tebu. Dijelaskan juga bahwa yang menjadi Investor tersebut adalah Kiki bersama Sunargiono dan H. Kaseman yang menanamkam modal kepada Kiki. Sedangkan kalau soal masalah pajak sewa dan setoran hasil panen yang diminta perhutani memang benar seperti itu. Kalau sampean (anda) tanya soal aturan yang saya tidak tahu, sampean (anda) tanya sendiri kepada pak Jainudin mantri Ngegreng.

Jainudin selaku mantri Ngegreng menanggapi akan hal ini, dia menjelaskan bahwa soal pajak sewa lahan dan setoran yang telah dituduhkan “memang hal itu tidak ada aturan yang mengikat bahkan bisa dikatakan pungutan liar (pungli)”, tetapi kenapa saya berani memungut itu karena tau sama tau, ya pada intinya sama-sama untung. Saat ditanya soal Investor, dia menjelaskan Investor yang akan menanami tanaman tebu pada lahan tersebut memang sudah program dari KPH Mojokerto, kami hanya melaksanakan. Kenapa kok Investornya mas Kiki ? Karena mas Kiki lah yang menawarkan kerjasama dengan perhutani khususnya saya. Dan saya anggap mas Kiki yang mempunyai potensi mengembangkan hal ini, ujar Jainudin.

Dalam menanggapi hal ini Sarwiyono Ketua harian Non Governmen Organisation (NGO) JALAK angkat bicara dan dia mengungkapkan, Hutan merupakan satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UUK, No.41 Tahun 1999, pasal satu). Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia memiliki kawasan hutan negara seluas 112,3 juta Ha, yang terdiri dari Hutan Produksi 64 juta Ha, Hutan Lindung 29,3 juta Ha dan Hutan Konservasi seluas 19 juta Ha.

Lahan hutan di Jawa menjadi sandaran hidup bagi sebagian warga masyarakat desa sekitar hutan yang menjadi petani pesanggem. Petani pesanggem adalah mereka yang menggarap sebagian lahan di kawasan hutan selepas tebang dengan ditanami padi atau aneka jenis palawija terutama jagung dan ketela. Lahan pinggiran tegalan umumnya ditanami dengan tanaman lamtoro dan flamboyan sebagai pagar.

Pesanggem baru muncul pada awal tahun 1970, sehubungan dengan proyek-proyek pembangunan Perum Perhutani. Istilah pesanggem berasal dari bahasa Jawa kemudian diartikan dengan beban yang menjadi tanggung jawab seseorang (Hasan Simon, dkk,1999). Dengan demikian pesanggem adalah orang yang bersedia atau sanggup memikul tanggung jawab menggarap lahan melalui kontrak dengan Perhutani. Menjadi petani penggarap lahan hutan (pesanggem) harus bersedia berpindah-pindah lokasi, mengikuti lahan mana yang telah ada tebangan habis. Mereka menggarap lahan secara perorangan. Jangka waktunya rata-rata selama dua tahun. Setelah dua tahun dan tanaman tegakan jati yang baru sudah agak tinggi, mereka harus pindah lagi ke lahan bekas tebangan yang baru. Di sana mereka bisa langsung membuka lahan lagi, namun kalau tidak bersedia (mislanya karena terlalu jauh dari rumah), ya harus menunggu kesempatan lain.

Para petani penggarap lahan hutan ex tebangan tidak dipungut biaya sewa atau bagi hasil tanaman. Hanya saja, sebelum menggarap lahan bekas tebangan, mereka harus membuka lahan itu dan membersihkan sendiri, dan caranya tidak boleh dengan membakar. Serasah dan rumput harus ditimbun, supaya nanti dapat menjadi humus dan supaya tanah tetap subur. Untuk penggunaan obat pertanian, mereka dilarangmenggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti Decis, Foradan dan bahan kimia yang berbahya lainnya. Untuk melawan, mengatasi dan memberantas hama sundep yang menyerang padi, para pesanggem membuat obat organik yaitu dengan menggunakan parutan umbi gadung, diperas diambil airnya, dicampur air daun mimbo, lalu disemprotkan. Para pesanggem diwajibkan menggunakan obat organik, karena pengelolaan hutan harus ramah lingkungan. Selain itu, petani juga wajib membantu merawat tanaman jati yang ditanam Perhutani. Partisipasi para pesanggem dalam ikut menjaga keamanan dan pelestarian hutan selalu perlu ditinjau ulang baik dalam kaitan dengan luas lahan garapan & sistem pembagian di antara mereka, pemerataan luas garapan, maupun hal-hal lain yang menyangkut baik ekonomi rumah tangganya, maupun keadaan sosial para pesanggem.

Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan berhubungan dengan peran serta masyarakat dalam mengelola hutan (UUK, No. 14 Pasal 68). Pelaksanaan hak ikut mengelola di sini, memang belum sungguh-sungguh terwujud secara jelas. Kebijakan yang di tempuh untuk 10 sampai 20 tahun mendatang masih lebih difokuskan pada upaya penyelamatan sumber daya hutan, melalui rehabilitasi dan konservasi yang hanya akan berhasil apabila pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholders) memberi dukungan sesuai peran dan kewajiban masing-masing (Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada Sarasehan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan, Maret 2004). Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang mulai diperkenalkan oleh Perum Perhutani tahun 2001 seakan menjanjikan harapan baru bagi para pesanggem atau petani bakal bisa hidup lebih sejahtera. Seolah-olah semakin nyata harapan para pesanggem dengan pembentukan paguyuban pesanggem berupa Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Dalam buku “Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan” yang disusun oleh San Afri Awang dan kawan-kawan (2008), disebutkan bahwa “LMDH adalah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang berada di dalam atau di sekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Namun di beberapa daerah LMDH malahan menjadi masalah, sebab justru menjadi sarana kerja sama antara sinder dan para petualang mempermainkan para pesanggem. Lahan yang semula bibagi rata menurut ketentuan Perhutani, 0,25 hektar per orang, lalu menjadi bervariasi antara 0,25 (minimum) hingga 2,5 hektar. Perbedaan perolehan lahan menimbulkan spekulasi, siapa berani bayar lebih banyak akan mendapat lahan lebih besar. Kecemburuan sosial mulai timbul di lingkungan para pesanggem. Sementara itu, pesanggem minimalis yang dulu tidak ditarik biaya apa pun, malahan mendapat intensif berupa bibit gratis dari Perhutani serta semacam persen produktif jika tanaman jati yang mereka rawat hidup sehat hingga tinggi tertentu, sekarang justru dengan munculnya LMDH terusik oleh adanya beberapa macam pungutan.

Pada hal secara umum hasil dari garapan kawasan hutan para pesanggem minimalis yang mempunyai hak garap atas lahan 0,25 hektar hanya dapat pas-pasan menopang hidup. Dengan lahan sekitar seperempat hektare, seorang pesanggem setidaknya bisa menghasilkan bahan makan untuk keluarganya,” ungkap Sarwiyono.

Untuk itu Kami sebagai againt of chage control sosial masyarakat menyeruhkan agar pihak terkait untuk turun gunung dalam menyikapi atas dugaan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh oknum perhutani kepada para pesanggem, hal ini harus diberikan saksi tegas atas pelanggaran yang telah dilakukan,” tegas Ketua Harian NGO JALAK (pul/pur/rul).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *