Kabarone.com, Bangka – Sudah hampir satu setengah tahun ini, Sunardi alias Kemben (36), warga Dusun Melintang, Desa Mapur, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, hanya bisa berbaring lemah ditempat tidur. Kondisi kedua kakinya kini membengkak serta lumpuh total. Bahkan sekedar sedikit menggerakan jari kaki, sudah tak bisa lagi. Untuk buang kotoran dan air kencing, memakai sarung pempes dan selang yang dihubungkan ke kantong plastik khusus. Duda satu anak ini sebelumnya normal, namun bala tak bisa ditolak.
Sebagaimana diceritakan Kemben kepada Kabarone.com (12/1), perihal kejadian yang menimpanya, bermula ketika dia menggeluti pekerjaan baru, yaitu mendapat borongan memetik buah kelapa. Pekerjaan ini belum lama ditekuninya, sekitar 2 bulanan. Sebelumnya ia berprofesi sebagai pelimbang (pengumpul sisa) bijih timah pada sejumlah tambang timah di Desa Mapur. Penyebab ia pindah profesi karena kebetulan saat itu harga bijih timah tengah merosot tajam, sementara sejumlah tambang mulai tutup, sehingga bijih timah sisa mulai susah didapatkan. Secara kebetulan, rekannya perlu orang untuk memetik buah kelapa disejumlah tempat. Tawaran itu diterimanya, kemudian ia mulai memanjat pohon kelapa untuk mengambil dan mengumpulkan buahnya.
Pada awal cukup lancar, namun naas suatu ketika saat tengah memanjat pada ketinggian sekitar 15 meter dilokasi kebun di Dusun Tuing, karena salah berpegangan pada pelepah kelapa yang telah mati, pelepah terlepas dan diapun ikut terjatuh dari ketinggian itu dengan posisi tegak. Kakinya patah dan iapun sampai pingsan. Walaupun telah dibawa dan diobati oleh pihak Rumah Sakit maupun dukun kampung berulang kali, namun derita karena kecelakaan itu terus menggerogotinya. Diduga karena jaringan tulang belakang ada yang rusak dan menjepit salah satu syaraf motorik, berakibat sampai menyebabkan kelumpuhan total pada kedua kaki.
Dikatakan Kemben, untuk biaya rutinitas bulanan kontrol ke Rumah Sakit Umum di Sungailiat, ia dibantu oleh donatur seorang warga Desa Mapur yang tinggal di Jakarta Rp 500 ribu perbulan, dipakai habis sebagai biaya transportasi carteran mobil. Saat ini, dia tinggal bersama dan dirawat oleh ibunya, Kasmi (62) yang bekerja melimbang timah, serta seorang anaknya bernama Shinta (11) yang telah putus sekolah karena ketiadaan biaya dan hanya sampai kelas 4 SD. Disisi lain, keadaan rumah yang ditempati non permanen dengan dinding dari bilah kayu yang bolong-bolong, tanpa aliran listrik, sumur, dan WC, sementara penerangan malam hari memakai lampu minyak tanah. Dia mengharapkan agar ada bantuan dari pemerintah seperti santunan biaya perobatan dan penerangan seperti bantuan solar cell (listrik tenaga matahari). Selama ini dia tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah, “mudah-mudahan dengan publikasi ini, ada perhatian terhadap penderitaan saya ini”, ujar Kemben bernada lirih, belum lama ini. (Suhardi)