Kabarone.com, Jakarta – Presiden Joko Widodo bukan main gemasnya dengan tumpukan perizinan yang dinilai bisa menghambat investasi di RI. Salah satunya adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang ia nilai terlalu berbelit.
Menteri ATR-BPN Sofyan Djalil mengatakan selama penggunaan IMB justru banyak disalahgunakan untuk melanggar. Sehingga, kementerian justru akan mengurangi izin-izin seperti ini dan meningkatkan pengawasan untuk standar-standar yang akan ditetapkan.
Sofyan pun menceritakan latar belakang rencana pemerintah mencabut IMB yang dinilai menjadi salah satu biang kerok yang menghambat investasi khususnya sektor properti, dan membuat Jokowi kesal.”Kita akan mengurang izin, karena selama ini izin itu termasuk izin untuk melanggar. Ada IMB, itu apa? Izin Mendirikan Bangunan. Bangunan dikasih 400 meter, Bapak bangun 800 ada yang peduli ngga? Jadi IMB itu izin untuk melanggar kan,” kata Sofyan
“Pak Presiden pernah mengatakan, ada izin Amdal. Amdal itu apa? Untuk bla…bla…bla. Itu sepanjang kali Citarum semua orang punya Amdal, tapi semua buang limbahnya ke sungai,” cerita Sofyan.
Mengutip Laporan Jakarta Properti Institute (JPI), Indonesia memang ada di urusan buncit soal urusan IMB yakni peringkat 112 dari 190 negara berdasar data Bank Dunia 2019.
“Yang sangat memprihatinkan, di Indonesia diperlukan 200 hari untuk mendapatkan IMB untuk membangun gudang. Di Singapura, izin yang sama terbit dalam 44 hari dan di Malaysia hanya 54 hari,” tulis laporan JPI.
Dari sisi prosedur, urus IMB di Indonesia terdapat 17 tahapan. Jauh lebih ribet dan kompleks dibanding Malaysia yang hanya 11 tahapan, dan Singapura 10 tahapan. Belum lagi soal ongkos yang harus dikeluarkan buat daftarkan properti.
“Biaya mendaftarkan properti di Indonesia setara dengan 8,3% dari nilai properti tersebut. Ini sangat mahal dibandingkan dengan biaya di Malaysia yang hanya 2,9% dan di Filipina 4,3%.”
Hal senada diungkapkan pengamat Kebijakan publik Arthur Noijah,SH mengatakan”
Birokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini, di satu sisi digambarkan sebagai organisasi yang tidak efisien, berbelit-belit, penganut slogan “kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?” Komposisi pegawai yang semakin membengkak, dan korup. Sebuah gambaran yang membuat kita tidak respect dan takut untuk berhubungan dengan birokrasi. Daripada mencari masalah lebih baik berusaha tidak berurusan dengan yang namanya birokrasi. Di sisi lain, birokrasi digambarkan sebagai sebuah organisasi dimana bisa meraih segalanya bagi siapa saja pemenang sebuah pemilihan, mulai dari uang, jabatan, dan kekuasaan. Dua gambaran yang kontradiktif, karena gambaran yang pertama disampaikan oleh masyarakat bawah dan gambaran kedua disampaikan oleh penguasa (elit).
Perjalanan panjang kehidupan birokrasi di negeri ini, selalu saja ditandai oleh dominannya aspek politis di bawah komando penguasa negara. Mulai dari Orde Lama hingga Orde Baru sampai saat ini.
Kehidupan birokrasi yang ditumpangi, atau bahkan didominasi muatan-muatan politis oleh penguasa negara, jelas menjadikan tujuan birokrasi melenceng dari arah yang semula dikehendaki. Akibatnya, orientasi pelayanan publik yang semestinya dijalankan, menjadi bergeser ke arah orientasi yang sifatnya politis.
Pada saat yang sama oleh karena birokrasi yang sudah didominasi oleh politik, telah menjadikan birokrasi tidak berdaya sama sekali ketika berhadapan dengan orang kaya, inilah awal mulanya gejalapraktek yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme antara penguasa dan pengusaha.
Melihat masalah-masalah yang muncul dalam tubuh birokrasi di atas, maka melalui tulisan ini kami mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan, apakah makna politisasi birokrasi……. Apakah penyebab munculnya politisasi birokrasi…………. Dan bagaimana seharusnya menyikapi kasus politisasi birokrasi……….
Makna Politisasi Birokrasi
Politisasi birokrasi adalah membuat agar organisasi birokrasi bekerja dan berbuat (dalam arti taat dan patuh) sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa.
Politisasi birokrasi berada di dua sisi; berasal dari sisi partai politik yang mengintervensi birokrasi atau dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk kepentingannya (kekuasaan) sendiri.
Tetapi keduanya memiliki kepentingan yang sama yaitu melanggengkan atau mempertahankan kekuasaan.
Menurut Harold Crouch, bureucratic-polity di Indonesia mengandung 3 ciri utama.
1.lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. 2.lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi.
3.massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan partai politik dan secara timbal balik menguatkan birokrasi.
Analisis ini menjelaskan kepada kita, bahwa kepentingan penguasa negara yang diwakilkan lewat institusi birokasi mengalami penguatan bukan hanya karena ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol birokrasi, tetapi juga karena ketidakmampuan birokrasi sendiri untuk melepaskan diri dari cengkeraman penguasa negara.
Untuk memahami praktek politisasi birokrasi yang terjadi di Indonesia, akan mudah jika kita menilik masa pemerintahan Soeharto.
Pada masa Orde Baru, proyek politisasi yang paling dominan didasari oleh ketakutan penguasa negara akan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Dalam konteks ini, politisasi birokrasi cenderung diartikan sebagai upaya pemerintah untuk menciptakan kekuatan birokrasi yang mampu memperkuat basis perekonomian penguasa negara agar bisa secara efektif mengendalikan warga masyarakat.
Pada masa Soeharto birokrasi dijadikan alat bagi pengumpulan dan penumpukan modal dari rakyat untuk kepentingan negara.
Kenyataan inilah yang melahirkan terciptanya gejala KKN antara penguasa dan pengusaha.
Praktek politisasi birokrasi pada masa Orde Baru hingga sekarang masih terjadi. Sama halnya dengan praktek politisasi birokrasi pada masa Soeharto, pada masa reformasi praktek tersebut masih hangat di dalam pembicaraan publik.
Contoh :
pada saat rekrutmen pegawai negeri baru. Seperti diketahui, meskipun sudah banyak orang tahu bahwa menjadi pegawai negeri itu gajinya kecil, tetapi adanya rasa aman dan tenteram karena tiap bulan sudah pasti dapat gaji (kepastian) adalah salah satu faktor utama kenapa rakyat Indonesia masih sangat banyak yang bercita-cita menjadi pegawai negeri.
Dan pembagian jatah itu cukup jelas terlihat karena untuk menjadi pegawai negeri harus ada yang ”membawa ( memberi rekomendasi).
Dan salah satu pihak yang bisa ”membawa” adalah (atas nama) partai-partai politik.
2.Penyebab Terjadinya Politisasi Birokrasi
Jika kita memperhatikan pengalaman berbagai masyarakat, terutama di Dunia Ketiga, kita akan mendapati bahwa birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan. Artinya, birokrasi tidak pernah beroperasi dalam “ruang – hampa politik” dan bukan aktor yang netral dalam politik.
Kemunculan birokrasi dalam kegiatan administratif pemerintahan dan politik telah membawa pengaruh yang luar biasa dalam perjalanan suatu negara.
Sesungguhnya bagaimana sejarahnya munculnya birokrasi…………. Melihat konsepsi Weber, yaitu Ideal Type birokrasi lahir berdasar atas pengalaman Eropa Barat, dimana Weber menggambarkan perkembangan birokrasi yang seiring dengan perkembangan modernisasi masyarakat.
Peningkatan monetisasi ekonomi, munculnya ekonomi kapitalis, perkembangan rasionalitas dan demistifikasi dalam masyarakat, demokratisasi, dan modernisasi sosial-ekonomi pada umumnya menimbulkan masalah administratif yang semakin lama semakin banyak dan semakin kompleks. Akibatnya muncullah keharusan dilakukannya pembagian kerja yang jelas dalam masyarakat.
Dalam konteks inilah kemudian muncul birokrasi sebagai tanggapan terhadap kebutuhan jaman. Jadi, birokrasi negara muncul untuk menanggapai perluasan dan kompleksitas tugas-tugas administratif pemerintahan.
Dalam buku Budi Setyono (2005) munculnya birokrasi dibagai atas 2 mazhab, yaitu:
1) Mazhab kebutuhan rakyat. Mazhab ini mengatakan bahwa eksistensi birokrasi ada karena memang rakyat menghendaki birokrasi untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, juga untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah disepakati bersama.
2) Mazhab Kekuasaan. Mazhab ini menyatakan bahwa seorang penguasa pastilah orang yang kuat, Penguasa yang kuat harus dilayani oleh pembantu (aparat) yang solid, kuat, loyal, dan dapat dipercaya.
Dengan demikian, birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa untuk mengimplementasikan kekuasaan dan kepentingan mereka dalam mengatur kehidupan negara.
Munculnya birokrasi berdasarkan konsepsi Weber adalah atas dasar kebutuhan yang dianggap semakin mendesak karena perluasan dan kompleksitas tugas-tugas administratif pemerintahan pada akhirnya tidak relevan lagi dengan kondisi kehidupan sekarang.
Para pengkritik Weber menunjukkan bahwa munculnya birokrasi bukan hanya untuk menjalankan fungsi mengkoordinasikan berbagai unsur dalam proses pemerintahan .(Red)