Jeratan Tindak Pidana Perbankan

Hukum407 views

Gerai Hukum By Arthur Noija,SH

Jakarta,Kabar one.com-Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa Tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam rangka menghindari kegagalan usaha bank sebagai akibat konsentrasi penyediaan dana, bank wajib menerapkan beberapa, prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan menerapkan penyebaran/ diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan.
Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan ; Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja:

(a) membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.
Dengan demikian unsur jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut telah terpenuhi.

Peraturan Bank IndonesiaNomor: 7/3/Pbi/2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum menyatakan: Pasal 1 ayat (2) ; Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disebut dengan BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank.
Pasal 13 ayat (2); BMPK untuk Kredit dihitung berdasarkan baki debet.

Pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum dirumuskan dalam pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap perbuatan orang lain yang menjadi tanggungannya atau barang-barang yang berada di dalam pengawasannya.
Teori pertanggungjawaban pengganti atau vicarious liablility pada dasarnya adalah untuk menjawab pertanyaan, apakah terhadap seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.

Vicarious liablity diartikan oleh Black’s Law dictionary sebagai.

“liablity that asupervisory party (such as an employer) beras for the actionable conduct of subordinate or associate (such as an employee) based on the realationship between the two parties”

Sehubungan dengan doktrin pertanggungjawaban pengganti atau vicarious liability ini, dapat dikemukakan 3 (tiga) hal yang berkaitan dengannya, yaitu, 1.Doktrin ini berpangkal tolak dari ajaran respondeat superior, yang adagiumnya bisa diartikan sebagai ” a master is liable in certain cases for the wrongful acts of his servant, and a principal for those of his agents”.

2.Doktrin ini didasarkan pada “employment principle”, dimana seorang majikan adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para karyawan; sehingga dikatakan bahwa “the servant’s act is the master’s act in law; dan, ketiga, doktrin ini juga didasarkan pada “the delegation principle”.

Dengan demikian, kesalahan atau guilty mind dari karyawan hanya dapat dihubungkan kemajikan, apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan.
Jadi harus ada
“a relevan delegation of power and duties” menurut undang-undang.

Doktrin vicarious liability ini, yang sering disebut juga sebagai respondeat superior, atau yang juga dinamakan sebagai theory of imputing, karena perbuatan seorang pegawai yang bertindak untuk kepentingan korporasinya dimasukkan atau diteruskan ke dalam korporasinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *