Jakarta, Kabarone.com – Desk pemantauan peliputan Pilkada 2020 yang diselenggarakan Pengurus Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu) PWI Provinsi DKI Jakarta masa bakti 2020-2025 menemukan adanya anomali pemberitaan Pilkada Solo yang diperkirakan semarak justru sepi.
Ketua Mappilu PWI DKI Jakarta Iqbal Irsyad menuturkan temuan tersebut disimpulkan setelah Desk Pemantauan Mappilu PWI DKI Jakarta melakukan analisa terhadap pemberitaan media online terdaftar dan terverifikasi Dewan Pers dalam Pilkada kota Solo periode 12-16 Oktober.
“Sepertinya Covid-19 yang memaksa Pilkada Serentak melarang kampanye dengan penggalangan massa membuat tren pemberitaan Pilkada pun mengalami anomali yang terlihat dari kuantitas pemberitaan yang terhitung sepi, termasuk oleh media yang berbasis di Jakarta sekalipun,” tuturnya hari ini, Kamis (22/10).
Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu) PWI Jaya menjadi bagian dari upaya PWI mewujudkan pesta demokrasi di Indonesia yang berkualitas dan bermartabat sehingga Pemilu terlaksana benar-benar Jurdil dan berkualitas.
Pemantauan berdasarkan riset media ini merupakan kali ketiga yang dilakukan oleh tim Mappilu PWI Jaya. Tim Mappilu Jaya PWI Jaya terdiri dari Iqbal Irsyad, Budi Nugraha, Ivan Syahruna Lubis, Teguh O Wijaya, Algooth Putranto, Sugiharto, dan Arman Suparman.
Meski sepi, lanjutnya, pola pemberitaan Pilkada kota Solo ini justru mengkhawatirkan karena memberikan kesan animo masyarakat kota Solo terhadap Pilkada yang dingin atau sebaliknya, ada Paslon yang memilih untuk bergerak tanpa terpantau media.
“Padahal tugas media adalah merupakan mata dan telinga bagi masyarakat. Pilkada justru harus diberitakan oleh media secara detail bagi masyarakat yang akan memberikan suara mereka. Sudah hampir memasuki pekan ketiga kampanye masih sepi-sepi saja,” ujarnya.
Budi Nugraha yang mejadi penanggungjawab riset bersama Algooth Putranto mengatakan, Pilkada kota Solo dipilih karena menjadi ajang pertempuran Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo melawan Bagyo Wahyono, calon independen yang muncul misterius.
“Kami menilai Pilkada Solo ini patut untuk dipantau mengingat daya tarik dari Gibran yang mendadak muncul sebagai calon Wali Kota dan kisah misterius kemunculan calon independen yang dipandang banyak pihak sekadar konstestan jadi-jadian,” tuturnya.
Desk Pemantauan Pilkada Mappilu DKI Jaya melakukan pengamatan terhadap seluruh berita tentang Pilkada Solo yang terkumpul setiap pekan masa kampanye kemudian dianalisa menggunakan teknik analisis kuantitatif dan analisa kualitatif semiotik.
Sementara penentuan media yang diawasi dilakukan secara purposive dengan kriteria media daring (online) lokal yang terdaftar dan terverifikasi Dewan Pers. Hanya terdapat dua media siber lokal Solo, dua media online Jawa Tengah berbasis di Semarang dan dua media siber yang berbasis di Jakarta yang digunakan sebagai pembanding.
Media daring dipilih dengan alasan tren masyarakat saat ini yang cenderung mengkonsumsi media daring dibandingkan media konvensional. Selain itu berita di media daring mudah untuk disebarkan melalui media sosial. Faktor lain adalah kemudahan dalam melakukan pengumpulan data.
Parameter isi pesan yang dilihat dalam pemantauan ini antara lain kuantitas penyebutan nama Paslon dalam sebuah berita, kuantitas berita terkait pasangan calon, tone berita yang ditulis hingga keberimbangan narasumber dalam penyajian berita.
Dari analisa yang dilakukan disimpulkan media lokal Solo dan Jawa Tengah yang terpantau memberitakan Pilkada Solo secara berimbang bagi kedua pasangan calon. Namun kuantitas pemberitaan terhadap seluruh peserta Pilkada terhitung sangat minim.
Fakta menarik, salah satu media online berbasis Jakarta yang digunakan sebagai pembanding rupanya secara kuantitas maupun kualitas kini justru sangat minim memberikan porsi pemberitaan bagi Pilkada Solo. Ini berkebalikan dengan kuantitas pemberitaan media tersebut di awal kemunculan Gibran dalam Pilkada Solo.
Dengan dilakukan pengawasan, Mappilu PWI Jaya memiliki harapan agar di masa Pilkada yang digelar pada masa Covid-19, media massa tidak terjerumus menjalankan praktik propaganda akibat tradisi jurnalistik yang masih konvensional.
Praktik konvensional dilakukan dengan menggantungkan sumber informasinya pada tiga lingkaran elit dalam masyarakat, yaitu kalangan bisnis, pemerintah dan pakar, akademis atau peneliti maupun sekedar mengedepankan norma “kalah menang” dalam politik, sebagai bagian dari disiplin peliputan media atas pelaksanaan Pemilu.
“Idealnya jurnalisme tidak saja menyajikan fakta yang berimbang, netral namun memproduksi informasi yang independen tentang peristiwa dan isu yang akan menjadi referensi bagi masyarakat dalam membuat keputusan memilih,” tutur Algooth Putranto.
Hal ini perlu dilakukan mengingat kemampuan media massa untuk mengarahkan perhatian khalayak terhadap isu-isu tertentu yang diagendakan media massa. Dalam hal ini, media massa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi agenda media kepada agenda publik. (***)