Jakarta -Kabar One.com : Sudah betul apa yang disampaikan YM Waka MA H Suharto SH MH “bahwa pers perlu ikut membantu mengedukasi masyarakat supaya cerdas, itu betul,” ujarnya.
“Djuyamto juga mengatakan kalau memang ada keluhan publik terhadap pengadilan kemudian diberitakan ya tidak apa-apa, sampaikan saja.Kalau pun tidak harus dituliskan namun bisa juga di sampaikan melalui lisan. Itulah yang disebut membantu, karena kalau kita tidak diawasi atau diingatkan, seperti orang pasti akan semakin keenakan.”
Media merupakan pilar ke4 dari stakeholder dikaitkan dengan hukum dan demokrasi. Yang disebut media itukan alat, alatnya publik, alatnya masyarakat, alatnya warga negara untuk ‘berpatisipasi’ dan untuk mengawasi, untuk mengingatkan, mengontrol baik lembaga-lembaga yudikatif dan eksekutif.
“Jadi peran media sebagai pilar ke-4 ini sangat penting sekali. Justru dengan peran penting itu harus juga ikut membantu dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi. Memang legislatif itu bagian dari alat kontrol tapi ini berbeda, kalau media itu langsung dengan tulisan,” ujar Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) H. Djuyamto SH, MH, saat diwawancarai.
“Malah di Undang-Undang, Pers itu punya tugas untuk mencerdaskan publik. Melalui pemberitaan-pemberitaan yang berdasarkan fakta, yang objektif, yaitu pemberitaan-pemberitaan yang sifatnya konstruktif untuk membangun.”
“Media itu bukan aparatnya pengadilan atau aparatnya legislatif, media itu mitra jadi membantunya mitra itu berbeda dengan membantunya atasan dan bawahan. Kalau atasan dan bawahan itu adalah perintah yang harus dikerjakan sesuai perintah atasan.”
Tapi kalau sebagai mitra itu sejajar, caranya membantunya itu sesuai dengan caranya seorang wartawan. “Artinya kalau ada yang minta bantu maksudnya dengan pemberitaan-pemberitaan yang positif, konstruktif.”
Jadi konteksnya untuk membantu pengadilan di situ, bukan berarti media harus memberitakan yang bagus-bagus saja. Terkadang sebuah media memuat berita yang mengkritisi dan membuat kuping panas, tapi itulah fungsi kontrol sebagai seorang wartawan.
“Contoh media kadang-kadang memuat berita yang sangat nyelekit membuat kuping panas, tapi terkadang membuat yang bagus itu subjektif. Nyelekitnya media itu untuk mengingatkan kita, jadi sebagai kontrol persnya itu ada,” kata Djuyamto.
Djuyamto juga menyadari bahwa pihak pengadilan terkadang masih suka ada kekeliruan dan kekurangannya itu harus diingatkan. Terkadang para pencari keadilan mengeluhkannya kepada wartawan kemudian disampaikan kepada pihak pengadilan.
Media yang suka mengkritisi itu bagus, yang penting sesuai fakta, misalnya ada yang mengeluhkan soal fasilitas yang kurang baik. “Misalnya di PN ini ko toiletnya tidak jelas airnya tidak ada dan bau busuk, sampaikan ke kita,” jelasnya
“Itulah pentingnya media sebagai kontrol publik untuk pengadilan tetap konterataknya itu ya disitu,” tegasnya.
Adapun terkait putusan, lanjut Djuyamto menjelaskan bagaimana peran pers supaya membantu pengadilan mengambil putusan dapat dibaca oleh masyarakat dengan jelas. “Contoh putusan yang tidak dapat diterima dengan yang ditolak itu berbeda, tapi kadang-kadang ditulis sama. Olehkarena itu media harus belajar,” ucapnya.
Selanjutnya mengenai pemberitaan mengenai fakta dan opini, jadi mengenai putusan pengadilan itu harus fakta, tidak boleh ditumpangi oleh opini. Dan memang itu berbeda dan dampaknya ke masyarakat pun akan berbeda pula.
Selain itu, untuk membantu pengadilan, media-media itu bisa memberitakan putusan-putusan yang bagus, jangan hanya ditulis putusan-putusan yang jelek-jelek saja. “Contoh putusan yang bagus itu dulu dikaitkan dengan perkara kasus Sambo, dan publik benar-benar berharap, rakyat masih percaya bahwa ternyata masih percaya dengan pengadilan, ternyata masih ada keadilan,” kata Djumyanto.
Padahal pada saat itu, lanjut Djuyamto menerangkan sebelum diputus orang pesimis akan hakim PN Jakarta Selatan yang tidak akan berani menghukum Sambo. “Mana berani si hakim PN Selatan menghukum Sambo yang duitnya banyak dan dibekingi segala macam,” jelasnya, seraya mengatakan dari berita itulah yang akan menaikan citra pengadilan negeri. Artinya, melalui berita media tersebut putusan-putusan bagus itu harus diviralkan.
Media juga harus mengetahui bahwa pengadilan adalah satu-satunya lembaga yang tiap hari menghasilkan putusan-putusan yang kontroversial. Karena perkara yang diputus pengadilan terdiri dari dua pihak.
“Kalau perkara Pidana ada Jaksa dan terdakwa. Bagi terdakwa bisa saja putusan itu menguntungkan dia, dan menilai putusan ini adil. Sedangkan bagi Jaksa tidak adil,” terang Djuyamto.
Kemudian, Djuyamto mengatakan sama dengan perkara perdata, bagi penggugat ketika gugatannya dikabulkan mengatakan putusannya adil. Sedangkan bagi tergugat putusan tersebut dinilai tidak adil.
“Sedangkan setiap hari, ratusan pengadilan negeri di Indonesia ya memutus seperti itu. Artinya pengadilan sudah terbiasa membikin putusan yang pasti kontroversi dilihat dari para pihak. Artinya bisa saja pihak yang kalah itu kemudian karena punya duit kemudian dia beritakanah bahwa putus pengadilan gak beres, gak adil itu,” ucapnya.
Lebih jauh lagi Djuyamto mengatan satu-satunya lembaga di seluruh dunia yang produksinya selalu kontroversi itu adalah pengadilan. Karena tidak mungkin orang yang berperkara itu dua-duanya akan merasa puas, Kalaupun ada itupun sangat sedikit.
Apalagi sekarang itu orang yang berperkara karakternya bukan mencari kebenaran melainkan mencari kemenangan. Dan itu jelas berbeda antara mencari kebenaran dan mencari kemenangan.
Makanya, dalam konteks seperti itu, masyarakat seharusnya tidak perlu terkejut tiap kali hakim memutus. Seperti kasus Surabaya, terlepas dari kontroversi tetap saja masih ada yang menganggap putusan itu adil.
Walaupun banyak yang mengatakan hakim tersebut tidak beres atau putusannya tidak benar. “Tetap saja masih ada yang menganggap putusan tersebut adil, minimal bagi terdakwa dan keluarga serta teman-teman terdakwa,” jelas Djuyamto.
Itulah pengadilan, memutus apapun tinggal gimana cara kita melihatnya dengan situasi demokrasi akan ada kontroversi. Yang penting rasio, pertimbangan dan alasannya.
Hakim itu harus memutuskan perkara dilihat dari berbagai aspek hukum. Meskipun hakim itu independen, bebas, tapi hakim terikat oleh tanggungjawab.
“Pertama, tanggungjawab moral, makanya di akhir-akhir putusan itu disebutkan berdasarkan demi keadilan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Yang kedua, tanggungjawab keilmuan, hakim sebagai Sarjana Hukum, Master Hukum, Doktor Hukum harus di dipertanggungjawabkan. Dia sudah belajar asas hukum, filsafat hukum, teori hukum dan konsep hukum, dia bertanggungjawab kesitu semua. Tidak boleh putusannya itu melanggar ilmu hukum tersebut. Kemudian yang ke tiga adalah tanggungjawab sosial kepada masyarakat, karena hakim memutus berada di tengah-tengah masyarakat,” jelas Djuyamto disambung
Aspek-aspek itulah yang harus dipikirkan ketika hakim membuat keputusan. Dan dari sisi hukum acaranya dan hukum materilnya.
Lebih jauh lagi, Djuyamto menerangkan, guna meningkatkan penegakan hukum kepada masyarakat juga sangat penting.
Penegakan hukum bisa bagus asal ada beberapa faktor dilihat dari beberapa struktur hukumnya, lalu dari substansinya dan dari culture atau budaya masyarakat dan budaya aparat hukumnya juga. “Ketika dia berperkara, dia benar-benar mencari kebenaran, bukan mencari kemenangan,” tutur Djuyamto.
Strukturnya itu berkaitan dengan aparat hukum, substansi yang berkaitan dengan perundang-undangan yang mengatur hukumnya. Tiga faktor itu penting supaya memberikan penyadaran kepada masyarakat.
“Itu harus benar-benar kita didik masyarakat supaya melek hukum bila benar-benar ingin berperkara, dan harus benar-benar siap menerima bahwa kenyataannya dia salah.” Pungkas Djuyamto.
(Sena).