Jakarta,Kabarone.com-Sebelum kenyataan ini menjadi nyata terjadi dalam kehidupan kita, ada baiknya mengetahui realitas sengketa tanah yang terjadi dalam keluarga.
Modus kejahatan
Semua orang senantiasa berharap hubungan keluarga yang harmonis dan langgeng baik dalam satu keluarga antara suami isteri dan anak-anak atau sesama anggota keluarga besar lainnya.Tetapi apa nyana, kenyataan berkata lain. Hubungan itu miris dan nyaris putus tatkala diketahui adanya anggota keluarga yang menjadi pemicu konflik. Konflik ini dipicu setelah diketahui adanya anggota keluarga yang menyalahgunakan harta milik orang tua atau harta warisan (boedel) yang belum dibagi sesuai hukum waris. Harta warisan ini dapat berupa tanah persawahan, kebun, tanah pertapakan atau tanah beserta bangunan rumah tinggal yang barang berharga milik keluarga.
Bagaimana awal mula cara terjadinya (modus kejahatan) yang mengakibatkan sengketa tanah dalam keluarga itu terjadi? Sengketa itu diawali dengan adanya niat jahat (mens rea) dari salah seorang atau beberapa orang anggota keluarga. Nafsu serakah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi menafikan persaudaraan. Tidak peduli dengan sesama saudara kandung, orang tua sekalipun tidak lagi dihormati. Niat jahat itu tidak akan terealisasi jika tidak ada kesempatan untuk mewujudkannya. Kentalnya hubungan persaudaraan menghilangkan rasa curiga, sehingga diyakini tidak mungkin ada anggota keluaga yang akan melukai hati sesamanya. Akibatnya, pengamanan terhadap bukti kepemilikan tanah, baik yang sudah bersertifikat maupun belum berserfikat tidak begitu diperhatikan.
Anggota keluarga yang memiliki niat jahat dan kesempatan melakukan kejahatan dengan motivasi mendapatkan keuntungan ekonomi biasanya dibantu oleh pihak lain. Bahkan pihak lain yang bukan anggota keluarga ini merupakan pelaku utamanya (dader intelectual). Mereka menjadi sutradara yang menyusun skenario untuk memuluskan niat jahatnya. Bankan lembaga perbankan sekalipun menjadi sasaran dan media untuk dapat menyelesaikan niat jahatnya.
Kejahatan yang dilakukan biasanya merupakan tindak pidana umum yang dapat berupa penipuan, penggelapan KUHP dan/atau pemalsuan baik pemalsuan surat maupun autentik (pasal 372, pasal 378 dan pasal 263 serta pasal 266 KUHP). Dan apabila pelaksanaan kejahatan itu juga memanfaatkan perbankan maka dapat juga dimintai pertanggungjawaban tindak pidana perbankan (tipibank). Bankir dapat juga ikut serta atau membantu atas terjadinya kejahatan itu. Keterlibatan perbankan ini juga dapat dimintai pertanggungjawaban jika kredit tersebut menjadi macet dan terdapat pelanggaran prinsip kehati-hatian dan pemenuhan prosedur penyalurannya.
Tindakan preventif
Banyak kasus-kasus yang muncul memberikan pelajaran berharga bagi seluruh anggota keluarga terutama bagi Kepala Keluarga atau orang yang dituakan dalam keluarga. Sikap tolong menolong atas kesulitan yang dihadapi anggota keluarga terutama dalam kesulitan ekonomi menjadi sesuatu yang terus dilakukan dengan cara yang produktif dan menjadi jalan keluar yang bijak. Sikap saling membantu antara sesama anggota keluarga tidaklah segampang untuk mengatakannya, karena ternyata dalam banyak kasus himpitan ekonomi justru dihadapi oleh pada umumnya anggota keluarga. Pendidikan agama yang kuat dalam keluarga juga dapat menekan niat jahat anggota keluarga. Untuk menekan niat jahat ini, sebagai orang tua harus memilik prinsip mengetahui secara persis atas situasi dan kondisi ekonomi anak-anaknya.
Sebagai orangtua atau sebagai orang yang tuakan dalam keluarga juga harus berhati-hati dalam mengamankan barang milik keluarga dan menyelesaikan pembagian harta warisan (boedel) yang ditinggalkan kedua orang tua. Fotokopi sertifikat jangan sembarangan diberikan kepada pihak lain. Apalagi dengan sengaja meminjamkan sertifikat untuk membantu teman atau saudara sebagai jaminan dalam pinjaman kredit atau pembiayaan di Bank. Bukan bermaksud tidak peduli (acuh) terhadap kesulitan saudara, tetapi lebih kepada adanya potensi sengketa dari niat baik itu sendiri. Hindari juga menggadaikan sertifikat tanah kepada pihak lain untuk mendapatkan pinjaman.
Berbekal informasi dari fotokopi sertifikat tanah atau fisik sertifikat tanah yang dikuasai, oleh mereka yang tidak bertanggung jawab akan menyalahgunakannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara yang melawan hukum (onrechmatige). Mereka memalsukan sertifikat atau identitas yang terdapat di dalam sertifikat kemudian mengalihkannya kepada pihak lain atau menjadikannya sebagai jaminan pada Bank. Itulah modus yang mereka lakukan.
Niat yang tulus dengan meminjamkan sertifikat kepada teman atau famili untuk menjadi jaminan di bank juga dapat mendatangkan malapetaka. Meskipun peminjaman itu dilakukan dengan kompensasi tertentu dan untuk jangka waktu tertentu, kenyataannya membuahkan sengketa yang berujung ke pengadilan. Pasalnya, bank menyita obyek agunan karena teman atau famili yang menjadi nasabah peminjam di bank karena kredit macet. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan nestapa yang diderita pemilik tanah yang meminjamkan sertifikat.
Kejahatan terhadap harta milik orangtua dalam kenyataannya terjadi saat orang tua masih hidup dan juga setelah meninggal dunia. Dalam kasus-kasus yang penulis tangani, tatkala orang tua naik haji, salah seorang anak mengambil secara diam-diam sertifikat tanah dari tempat penyimpanan orang tuanya. Sertifikat tanah ini kemudian dijual kepada pihak lain dengan memanfaatkan fasilitas KPR pada lembaga perbankan. Hal itu dilakukan dengan melakukan kejahatan pemalsuan atas data dan informasi dari pemilik sertifikat.
Kejahatan terhadap harta peninggalan orangtua yang sudah meninggal dunia yang menjadi boedel warisan juga kerap terjadi. Salah seorang ahli waris tega memalsukan identitas nama orang tua serta berbagai data lainnya untuk dijual kepada pihak lain. Tidak jarang, perbankan karena ketidakhati-hatiannya juga memberikan fasilitas KPR atas jual beli itu. Bank terkecoh dengan bukti formal semata tanpa memverifikasi secara layak keaslian data identitas yang diberikan calon penjual atau nasabah peminjam.
Persaudaraan yang terbina, hubungan baik yang terbangun menjadi retak bahkan menciptakan “perang saudara”. Saat ini jangankan sesama saudara kandung anak kandungpun menggugat orang tuanya hanya karena masalah harta. Sudah saatnya kita juga harus melihat realitas ini, dan berhati-hati dalam mensikapi hubungan dengan orang tua, sesama saudara kandung dan juga sesama teman agar potensi sengketa ini diwaspadai. Jika peristiwanya sudah berlangsung maka perlu hati-hati untuk menjaga risiko serta memulihkan keadaan saat sengketa itu sudah mulai muncul. Waspadalah !
Penyelesaian sengketa
Hanya terdapat 2 (dua) alternatif penyelesaian terhadap sengketa properti ini. Pertama melalui langkah-langkah non liitigasi atau yang kedua melalui langkah-langkah litigasi. Penyelesaian secara non litigasi dilakukan tanpa menggunakan jalur pengadilan baik secara keperdataan maupun secara pidana. Banyak alternatif yang dapat ditempuh dalam penyelesaian secara non litigasi ini. Secara sederhana, pola penyelesaian dilakukan secara kekeluargaan dapat dilakukan dengan cara mediasi atau negosiasi.
Langkah-langkah penyelesaian secara non litigasi ini sedapat mungkin harus diupayakan terlebih dahulu. Ini harus merupakan solusi penyelesaian pertama (first way out). Melalui pola kekeluargaan diharapkan dapat diselesaikan sehingga sengketa properti ini tidak menjadi penyebab putusnya hubungan keluarga atau persaudaraan.
Penyelesaian secara kekeluargaan harus dilakukan secara arif dengan pola win-win solution. Seluruh anggota keluarga harus memiliki perspektif yang sama atas risiko yang muncul baik secara moril maupun materil jika ditempuh dengan jalur litigasi. Oleh karenanya penyelesaian secara non litigasi ini juga dapat dilakukan dengan meminta bantuan dari orang-orang yang memiliki keterampilan dan pengetahuan dalam bidang ini. Dalam suasana masyarakat pedesaan, peran Kepala Desa juga dapat dimintakan bantuannya untuk menyelesaian sengketa yang terjadi.
Untuk tetap menjaga hubungan persaudaraan sesama anggota keluarga, apabila tidak dapat ditempuh penyelesaian secara kekeluargaan maka ada di antara anggota keluarga yang mengalah sehingga tidak melanjutkan langkah litigasi. Dia menerima kenyataan itu meskipun pahit.
Tetapi jika sesama anggota keluarga ngotot untuk dapat diselesaikan dan jalur non litigasi buntu dan tidak menemukan jalan keluar, maka langkah litigasi merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Penyelesaian dengan cara litigasi dilakukan melalui jalur pengadilan baik secara perdata maupun secara pidana.
Lazimnya, anggota keluarga masih memilih jalur perdata untuk memulihkan kerugiannya. Karena jika jalur pidana yang ditempuh akan berakibat langsung kepada hukuman penjara kepada salah satu anggota keluarga yang dituntut secara pidana. Ini akan berakibat kepada dendam membara antara anggota keluarga yang menuntut secara pidana dengan anggota keluarga yang dihukum karena melakukan kejahatan itu. Dendam ini dalam kenyataan ternyata juga diwariskan hingga ke anak cucu.
Penutup
Setiap orangtua dalam keluarga harus hati-hati terhadap adanya potensi sengketa tanah dalam keluarga ini. Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk dapat mendidik anak dan memiliki pengetahuan, sehingga kehidupannya secara ekonomi dapat sejahtera. Kehidupan ekonomi yang sulit dapat mendorong terjadinya kejahatan, meksipun tidak selamanya demikian.
Karena terdapat juga mereka yang secara ekonomi mapan tetapi juga melakukan kejahatan karena nafsu serakahnya.
Jika sengketa tanah dalam keluarga itu sedang terjadi maka segera pulihkan keadaan itu dengan cara-cara yang bijaksana dengan mengedepankan langkah-langkah non litigasi. Harus disadari, langkah litigasi bukanlah pilihan tepat untuk menyelesaikan sengketa properti dalam keluarga karena akan berakibat putusnya hubungan persaudaraan sesama anggota keluarga. Jika yang ditempuh langkah litigasi maka seperti kata bijak, kalah jadi abu menang jadi arang. Semuanya, sama-sama binasa. Bahkan seperti ungkapan, “Diharap kambing, tetapi kerbau yang harus dikorbankan”.
Perbankan juga harus berhati-hati agar tidak masuk dalam pusaran sengketa tanah keluarga ini. Kehati-hatian ini diawali dengan memastikan kebenaran pemilik tanah dalam menjadikan hak atas tanahnya sebagai jaminan kredit atau pembiayaan. Tindakan untuk memastikan kebenaran data ini seyogyanya tidak hanya bersifat formal tetapi dalam batas-batas tertentu juga diyakini kebenaranya secara material sebagai wujud prinsip kehati-hatian dalam perbankan (prudential banking principle).
Bagi seluruh orang tua dari setiap keluarga dan juga lembaga perbankan, aman dan bijaklah dalam mengamankan dan menerima hak atas tanah sebagai jaminan kredit atau pembiayaan. Semoga bermanfaat.(***bs).