Waspada Modus Sengketa Tanah dalam Keluarga

Hukum667 views

Jakarta,Kabarone.com-Sebelum kenyataan ini menjadi nyata terjadi dalam kehidupan kita, ada baiknya mengeta­hui realitas sengketa tanah yang terjadi dalam keluarga.

Modus kejahatan

Semua orang senantiasa berharap hubungan keluarga yang harmonis dan langgeng baik dalam satu ke­luarga antara suami isteri dan anak-anak atau sesama anggota keluarga besar lainnya.Tetapi apa nyana, ke­nyataan berkata lain. Hubungan itu miris dan nyaris putus tatkala di­ke­tahui adanya anggota keluarga yang menjadi pemicu konflik. Konflik ini dipicu setelah diketahui adanya anggota keluarga yang menyalah­gunakan harta milik orang tua atau harta warisan (boedel) yang belum dibagi sesuai hukum waris. Harta warisan ini dapat berupa tanah per­sawahan, kebun, tanah pertapakan atau tanah beserta bangunan rumah tinggal yang barang berharga milik keluarga.

Bagaimana awal mula cara terja­dinya (modus kejahatan) yang meng­akibatkan sengketa tanah dalam keluarga itu terjadi? Seng­keta itu diawali dengan adanya niat jahat (mens rea) dari salah seorang atau beberapa orang anggota keluarga. Nafsu serakah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi menafikan persaudaraan. Tidak peduli dengan sesama saudara kandung, orang tua sekalipun tidak lagi dihormati. Niat jahat itu tidak akan terealisasi jika tidak ada ke­sempatan untuk mewu­judkan­nya. Kentalnya hubungan per­saudaraan menghilangkan rasa curiga, sehing­ga diyakini tidak mungkin ada anggota keluaga yang akan melukai hati sesamanya. Aki­batnya, penga­manan terhadap bukti kepemilikan tanah, baik yang sudah bersertifikat maupun belum ber­serfikat tidak begitu diperhatikan.

Anggota keluarga yang memiliki niat jahat dan kesempatan mela­kukan kejahatan dengan motivasi mendapatkan keuntungan ekonomi biasanya dibantu oleh pihak lain. Bahkan pihak lain yang bukan ang­gota keluarga ini merupakan pelaku utamanya (dader intelectual). Mere­ka menjadi sutradara yang menyu­sun skenario untuk memu­luskan niat jahatnya. Bankan lem­baga perban­kan sekalipun menjadi sasaran dan media untuk dapat menyelesaikan niat jahatnya.

Kejahatan yang dilakukan biasa­nya merupakan tindak pidana umum yang dapat berupa penipuan, peng­gelapan KUHP dan/atau pemal­suan baik pemalsuan surat maupun auten­tik (pasal 372, pasal 378 dan pasal 263 serta pasal 266 KUHP). Dan apabila pelaksanaan kejahatan itu juga memanfaatkan perbankan maka dapat juga dimintai pertang­gungjawaban tindak pidana perban­kan (tipibank). Bankir dapat juga ikut serta atau membantu atas ter­jadinya kejahatan itu. Keterli­batan perbankan ini juga dapat dimintai pertanggungjawaban jika kredit tersebut menjadi macet dan terdapat pelanggaran prinsip kehati-hatian dan pemenuhan prosedur penya­luran­nya.

Tindakan preventif

Banyak kasus-kasus yang mun­cul memberikan pelajaran berharga bagi seluruh anggota keluarga teru­tama bagi Kepala Keluarga atau orang yang dituakan dalam keluar­ga. Sikap tolong menolong atas ke­sulitan yang dihadapi anggota ke­luarga terutama dalam kesulitan eko­nomi menjadi sesuatu yang terus dilakukan dengan cara yang produk­tif dan menjadi jalan keluar yang bijak. Sikap saling membantu antara sesama anggota keluarga tidaklah segampang untuk me­ngatakannya, karena ternyata dalam banyak kasus himpitan ekonomi justru dihadapi oleh pada umumnya anggota ke­luarga. Pen­didikan agama yang kuat dalam ke­luarga juga dapat menekan niat jahat anggota keluar­ga. Untuk me­nekan niat jahat ini, sebagai orang tua harus memilik prinsip menge­tahui secara persis atas situasi dan kondisi ekonomi anak-anaknya.

Sebagai orangtua atau sebagai orang yang tuakan dalam keluarga juga harus berhati-hati dalam me­ngamankan barang milik keluar­ga dan menyelesaikan pembagian harta warisan (boedel) yang diting­galkan kedua orang tua. Fotokopi sertifikat jangan sembarangan di­be­rikan kepada pihak lain. Apalagi dengan sengaja memin­jamkan ser­tifikat untuk membantu teman atau saudara sebagai jaminan dalam pin­jaman kredit atau pem­biayaan di Bank. Bukan bermaksud tidak pe­duli (acuh) terhadap ke­sulitan sau­dara, tetapi lebih kepada adanya potensi sengketa dari niat baik itu sendiri. Hindari juga mengga­daikan sertifi­kat tanah kepada pihak lain untuk mendapatkan pinjaman.

Berbekal informasi dari fotokopi sertifikat tanah atau fisik sertifikat tanah yang dikuasai, oleh mereka yang tidak bertanggung jawab akan menyalahgunakannya untuk men­da­patkan keuntungan pribadi de­ngan cara yang melawan hukum (onrechmatige). Mereka memalsu­kan sertifikat atau identitas yang terdapat di dalam sertifikat kemu­dian mengalihkannya kepada pihak lain atau menjadikannya sebagai jaminan pada Bank. Itulah modus yang mereka lakukan.

Niat yang tulus dengan memin­jamkan sertifikat kepada teman atau famili untuk menjadi jaminan di bank juga dapat mendatangkan malapetaka. Meskipun peminjaman itu dilakukan dengan kompensasi tertentu dan untuk jangka waktu ter­tentu, kenyataannya membuah­kan sengketa yang berujung ke pengadilan. Pasalnya, bank menyita obyek agunan karena teman atau famili yang menjadi nasabah pe­minjam di bank karena kredit macet. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan nesta­pa yang diderita pemilik tanah yang meminjamkan sertifikat.

Kejahatan terhadap harta milik orangtua dalam kenyataannya ter­jadi saat orang tua masih hidup dan juga setelah meninggal dunia. Da­lam kasus-kasus yang penulis tangani, tatkala orang tua naik haji, salah seorang anak mengambil se­cara diam-diam sertifikat tanah dari tempat penyimpanan orang tuanya. Sertifikat tanah ini kemu­dian dijual kepada pihak lain dengan meman­faatkan fasilitas KPR pada lembaga perbankan. Hal itu dilaku­kan de­ngan melakukan kejahatan pe­mal­suan atas data dan informasi dari pemilik sertifikat.

Kejahatan terhadap harta pening­galan orangtua yang sudah mening­gal dunia yang menjadi boedel warisan juga kerap terjadi. Salah seorang ahli waris tega memalsukan identitas nama orang tua serta berbagai data lainnya untuk dijual kepada pihak lain. Tidak jarang, perbankan karena ketidak­hati-hatiannya juga memberikan fasilitas KPR atas jual beli itu. Bank terkecoh dengan bukti formal semata tanpa memverifikasi secara layak keaslian data identitas yang diberikan calon penjual atau nasabah peminjam.

Persaudaraan yang terbina, hu­bungan baik yang terbangun menja­di retak bahkan menciptakan “perang saudara”. Saat ini jangan­kan sesama saudara kandung anak kan­dungpun menggugat orang tua­nya hanya karena masalah harta. Sudah saatnya kita juga harus meli­hat realitas ini, dan berhati-hati dalam mensikapi hubungan dengan orang tua, sesama saudara kandung dan juga sesama teman agar potensi sengketa ini diwaspadai. Jika peris­tiwanya sudah berlangsung maka perlu hati-hati untuk menjaga risiko serta memulihkan keadaan saat sengketa itu sudah mulai muncul. Waspadalah !

Penyelesaian sengketa

Hanya terdapat 2 (dua) alternatif penyelesaian terhadap sengketa properti ini. Pertama melalui lang­kah-langkah non liitigasi atau yang kedua melalui langkah-langkah liti­gasi. Penyelesaian secara non liti­gasi dilakukan tanpa menggu­nakan jalur pengadilan baik secara keper­dataan maupun secara pidana. Ba­nyak alternatif yang dapat di­tem­puh dalam penyelesaian secara non litigasi ini. Secara sederhana, pola penyelesaian dilakukan secara ke­keluargaan dapat dilakukan de­ngan cara mediasi atau negosiasi.

Langkah-langkah penyelesaian secara non litigasi ini sedapat mungkin harus diupayakan terlebih dahulu. Ini harus merupakan solusi penyelesaian pertama (first way out). Melalui pola kekeluargaan di­ha­rapkan dapat diselesaikan sehing­ga sengketa properti ini tidak men­jadi penyebab putusnya hubu­ngan keluarga atau persaudaraan.

Penyelesaian secara kekeluar­gaan harus dilakukan secara arif dengan pola win-win solution. Selu­ruh anggota keluarga harus memiliki perspektif yang sama atas risiko yang muncul baik secara moril mau­pun materil jika ditempuh dengan jalur litigasi. Oleh karena­nya penye­lesaian secara non litigasi ini juga dapat dilakukan dengan meminta bantuan dari orang-orang yang memiliki keterampilan dan pengeta­huan dalam bidang ini. Dalam suasana masyarakat pede­saan, peran Kepala Desa juga dapat dimintakan bantuannya untuk menyelesaian sengketa yang terjadi.

Untuk tetap menjaga hubungan per­saudaraan sesama anggota keluarga, apabila tidak dapat ditempuh penyele­saian secara kekeluargaan maka ada di antara anggota keluarga yang mengalah sehingga tidak melanjutkan langkah litigasi. Dia menerima kenyataan itu meskipun pahit.

Tetapi jika sesama anggota keluarga ngotot untuk dapat disele­saikan dan jalur non litigasi buntu dan tidak mene­mukan jalan keluar, maka langkah liti­gasi merupakan sesuatu yang tidak ter­hindarkan. Penyelesaian dengan cara litigasi dilakukan melalui jalur peng­adilan baik secara perdata maupun se­cara pidana.

Lazimnya, anggota keluarga masih memilih jalur perdata untuk memu­lihkan kerugiannya. Karena jika jalur pidana yang ditempuh akan berakibat langsung kepada hu­kuman penjara ke­pada salah satu anggota keluarga yang dituntut se­cara pidana. Ini akan bera­kibat ke­pada dendam membara antara ang­gota keluarga yang menuntut secara pidana dengan anggota keluarga yang dihukum karena melakukan ke­jahatan itu. Dendam ini dalam kenyataan ter­nyata juga diwariskan hingga ke anak cucu.

Penutup

Setiap orangtua dalam keluarga ha­rus hati-hati terhadap adanya po­tensi sengketa tanah dalam keluarga ini. Sudah menjadi kewa­jiban orang tua untuk dapat mendidik anak dan me­mi­liki pengetahuan, sehingga kehidupan­nya secara ekonomi dapat sejahtera. Kehidupan ekonomi yang sulit dapat mendorong terjadinya kejahatan, me­ksipun tidak selamanya demikian.

Kar­e­na terdapat juga mereka yang secara ekonomi mapan tetapi juga me­lakukan kejahatan karena nafsu sera­kahnya.

Jika sengketa tanah dalam keluarga itu sedang terjadi maka segera pulihkan keadaan itu dengan cara-cara yang bi­jaksana dengan mengedepankan lang­kah-langkah non litigasi. Harus disa­dari, langkah litigasi bukanlah pilihan tepat untuk menyelesaikan sengketa properti dalam keluarga karena akan ber­akibat putusnya hubungan persau­da­raan sesama anggota keluarga. Jika yang ditempuh langkah litigasi maka seperti kata bijak, kalah jadi abu me­nang jadi arang. Semuanya, sama-sama binasa. Bahkan seperti ungkapan, “Di­harap kambing, tetapi kerbau yang ha­rus dikorbankan”.

Perbankan juga harus berhati-hati agar tidak masuk dalam pusaran seng­keta tanah keluarga ini. Kehati-hatian ini diawali dengan memastikan kebe­naran pemilik tanah dalam menjadikan hak atas tanahnya sebagai jaminan kre­dit atau pembiayaan. Tindakan untuk memastikan kebenaran data ini seyo­g­yanya tidak hanya bersifat formal teta­pi dalam batas-batas tertentu juga di­yakini kebenaranya secara material se­bagai wujud prinsip kehati-hatian da­lam perbankan (prudential banking prin­ciple).

Bagi seluruh orang tua dari setiap keluarga dan juga lembaga perbankan, aman dan bijaklah dalam mengaman­kan dan menerima hak atas tanah seba­gai jaminan kredit atau pembiayaan. Semoga bermanfaat.(***bs).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *