“NGGEYU”, Tradisi 40 Hari Kematian Suku Yei

Kabarone.com, Merauke – Nggeyu, itulah bahasa Suku Yei untuk menyebut acara tradisi adat 40 hari memperingati meninggalnya salah seorang warga. Yei merupakan nama salah satu suku yang berada di wilayah Kabupaten Merauke. Sebaran suku Yei mulai dari wilayah Poo sampai dengan Bupul.

Acara tradisi dimulai dari penyambutan keluarga pihak perempuan oleh pihak laki-laki dari almarhum. Kedatangan keluarga dari pihak perempuan dilakukan dengan cara berbaris berjalan menuju rumah almarhum. Mereka datang dengan berjalan pelan sambil menangis dan bersenandung. Di antara mereka ada yang membawa dedaunan yang ditabur selama dalam perjalanan. Mereka datang dengan menggunakan dan membawa perlengkapan yang biasa digunakan sehari-hari untuk bekerja. Bagi yang bermata pencaharian sebagai nelayan, maka ia akan membawa dayung, kail, ataupun jaring. Bagi beraktifitas sehari-hari sebagai pemburu, maka ia membawa busur panah atau tombak.

Setelah tiba, dilanjutkan dengan prosesi memutar rumah dan memasuki rumah. Acara biasanya dilaksanakan di luar rumah dengan menggunakan tenda. Setelah prosesi tersebut, keluarga pihak perempuan kemudian menghampiri istri almarhum yang sudah menunggu dengan tudung yang menutupi kepala dan wajahnya. Dengan tangisan mereka saling berpelukan dan dilakukan pembukaan tudung istri dari almarhum. Saudara laki-laki dari perempuan yang ditinggalkan maju untuk membuka kain penutup kepala. Setelah dibuka, ia dapat memandang saudara-saudara yang lain. Selama berduka ia tidak pernah melihat hanya menunduk saja.

Istri almarhum selama 40 hari tidak diperbolehkan melihat dunia luar dan melakukan kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan. Selama 40 hari itu, istri almarhum menyendiri di dalam kamar. Begitupun ketika acara dimulai, sang istri tidak diperbolehkan menengok ke kiri, kanan bahkan ke atas., hanya kepala tertunduk dengan diselimuti tudung. Setelah tudung dibuka, barulah ia dapat beraktifitas seperti biasanya. “Kalau tudung sudah diangkat, berarti sudah bebas dari kesedihan dan dapat bertemu dengan ipar-iparnya,” ujar Absalom Kapaiter, wakil kepala suku Yei.

Seluruh keluarga yang berduka menggunakan sal yakni anyaman yang diikatkan di lengan sebagai tanda berkabung dan juga melumuri tubuh mereka dengan lumpur putih sebagai tanda duka. Di dalam acara tersebut sal yang diikatkan di lengan dilepaskan sebagai tanda bahwa masa berkabung telah selesai. Tali duka diputus oleh pihak yang mengadakan hajatan dan harus dibakar, tidak boleh dibuang begitu saja.

Setelah acara penyambutan dan pembukaan tudung kepala istri almarhum, keluarga baik dari pihak laki-laki maupun perempuan dapat melakukan interaksi kembali setelah 40 hari. “Dulu itu mandi pun tidak boleh. Badan hanya digosok kemiri yang sudah dibakar. Tetapi sekarang sudah mengikuti perkembangan zaman, berkaitan dengan kesehatan juga, mau tidak mau harus mandi. Tetapi tetap tidak boleh keluar. Air disiapkan oleh anak atau saudara dekat. Pada awalnya juga, keluarga yang ditinggalkan tidak boleh melakukan apapun. Mereka berpuasa dari aktifitas sehari-hari. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, mereka diperbolehkan melakukan aktifitas sehari-hari. Mereka diperkenankan memilih 1 kegiatan saja yang dilarang dilakukan.,” lanjutnya.

Setelah rangkaian acara ritual adat selesai dilaksanakan, dilanjutkan dengan istirahat. Istirahat di sini dimaksudkan untuk membersihkan tubuh, setelah sebelumnya, dibaluri oleh tanah lumpur putih yang dioleskan di tubuh dan wajah.

Acara belum selesai, selepas istirahat keluarga berkumpul kembali untuk menghadiri acara kebaktian dan makan malam bersama. Acara Nggeyu merupakan acara tradisi adat di mana rangkaiannya diakhiri dengan acara kidung puji-pujian sampai menjelang pagi selepas makan malam bersama.

Salah satu yang menarik adalah kehadiran tentara pengaman perbatasan pada acara tersebut. Acara tradisi tersebut dihadiri Satgas Pamtas Yonif 407/Padmakusuma. Sebelum acara tradisi berlangsung, masyarakat Kampung Erambu dan Kampung Toray meminta bantuan kepada Satgas Pamtas Yonif 407/Padmakusuma untuk mendirikan tenda untuk tempat acara berlangsung dan juga tenda tempat tinggal sementara bagi anggota keluarga yang berkewarganegaraan PNG.

Kekhasan dari wilayah perbatasan adalah banyaknya perkawinan dilakukan di antara 2 (dua) negara sehingga ketika ada acara yang bersinggungan dengan adat istiadat, maka seringkali dihadiri juga oleh warga negara PNG. Baik masyarakat Indonesia maupun PNG yang tinggal di daerah perbatasan dapat melakukan kegiatan tersebut dan mereka disebut sebagai pelintas batas tradisional. (Red/San)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *