Sarjana Kok Menjadi Ibu Rumah Tangga…?

Opini608 views

Kabarone.co,Lamongan -Menjadi seorang sarjana adalah cita- cita banyak orang. Setelah menempuh pendidikan selama bertahun- tahun menjadi seorang sarjana mungkin merupakan mimpi banyak orang. Untuk mendapatkan gelar sebagai seorang sarjana tentulah tidak semudah yang kita bayangkan, harus menempu pendidikan bertahun- tahun dengan berbagai macam masalah yang menuntut penyelasaian setiap saatnya. Sehingga tentunya menjadi seorang sarjana membuat banyak orang bangga, keluarga, sahabat dan kepuasan dari dalam diri sendiri karena mampu beradaptasi dan berjuang untuk mendapatkan pendidikan.

Lalu, apa gunanya menjadi seorang sarjana?. Sebagian orang menuntut sarjana kelak hebat dalam hal karir dan pekerjaannya. Walaupun fakta yang sering kita temui adalah banyak sarjana yang berakhir tragis menjadi pengangguran. Lalu adapula orang- orang yang berani mengambil keputusan besar untuk tidak memakai gelar tersebut sebagai alat untuk mencari pekerjaan. Tak jarang karena dipaksakan, banyak orang bekerja pada bidang yang tidak dikuasainya atau tidak sesuai dengan jurusannya selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Setelah menjadi sarjana, banyak sekali langkah- langkah kita yang disorot dan diperhatikan banyak orang. Banyak pula di antara langkah tersebut menimbulkan berbagai macam reaksi dari orang terdekat baik itu pro maupun kontra. Selain mencari pekerjaan, banyak pula yang menikah setelah memperoleh gelar tersebut. Hal itu masih dianggap biasa saja. Namun, yang menjadi konflik di lingkungan sosial adalah banyak wanita yang bergelar sarjana lalu memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga.

Banyak sekali orang yang mengatakan bahwa untuk menjadi ibu rumah tangga tak perlu meraih gelar sarjana, sehingga jika di lingkungan dijumpai kasus yang demikian membuat orang geram. “Sarjana kok jadi ibu rumah tangga?” itulah kata mereka. Padahal keputusan seorang wanita bergelar sarjana untuk menjadi ibu rumah tangga adalah keputusan yang sangat besar yang munculnya dari hati dan otak.

Jika didata, maka banyak sekali yang masih kontra dengan hal tersebut. Padahal jika dilihat sisi lain maka pastilah ada jawabannya. Sebenarnya banyak orang yang mengarahkan bahwa tujuan kuliah adalah untuk memperoleh pekerjaan dan mendapatkan karir yang gemilang, namun nyatanya sebagian orang juga menganggap bahwa kuliah menjadi tempat atau media untuk menggali ilmu pengetahuan agar menjadi pribadi yang mandiri, tangguh, serta berwawasan luas.

Menjadi seorang ibu rumah tangga dengan gelar sarjana bukanlah suatu kejahatan atau sebuah hal memalukan yang harus direspon negative, namun harus dihargai dan didukung. Untuk apa berbondong- bondong bekerja, jika tidak ada tujuan untuk membangun generasi bangsa. Justru dengan menjadi ibu rumah tangga yang berpendidikan, intelektual tinggi, serta berwawasan luas akan berkemungkinan besar mampu mendidik anaknya dengan baik, tidak hanya pendidikan namun moral dilingkungan sosial yang kelak menciptakan generasi bangsa yang penuh dengan rasa kasih sayang, akhlak, dan cerdas.

Miris sekali, bahkan banyak anak ditelantarkan dan mendapatkan pendidikan yang tidak baik hanya karena orang tuanya terutama ibunya tidak pandai dalam mendidik anaknya. Atau seberapa banyak anak- anak yang ditelantarkan atau tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu hanya karna ibunya terus sibuk bekerja sehingga tidak pandai melihat kondisi anak.

Pada dasarnya, keluarga yang sehat itu yang bisa membawa anggota keluarganya ke arah yang lebih baik. Sedangkan banyak mata masyarakat menggap keluarga ideal adalah mereka yang kedua orangtuanya bekerja, menyekolahkan anaknya di sekolah- sekolah mahal.

Makin Banyak Sarjana Nganggur:

Generasi muda Indonesia diharapkan memiliki masa depan cemerlang tak hanya berhenti di bangku pendidikan namun di kelangsungan hidupnya kemudian. Bisa ditandai dengan jenjang atau berhasilnya memiliki karir.

Salah satu penyumbang pengangguran disebutkan juga berasal dari kalangan sarjana. Perlu diketahui, berdasarkan Berita Resmi Statistik No. 92/11/Th. XXI, 5 November 2019 Badan Pusat Statistik, hingga Agustus 2019 ada sebanyak 124,01 juta penduduk bekerja dan 7 juta penduduk tidak bekerja alias menganggur.

Seorang sarjana seharusnya mudah bekerja, karena lebih mampu berpikir kritis dan menguasai aspek teknis setelah belajar mata kuliah sebanyak 144 SKS. Dalam 1 SKS terdiri dari: 1 jam tatap muka, 1 jam tugas terstruktur dan 1 jam tugas mandiri atau total keseluruhan pembelajaran adalah 3 jam per SKS.

Apabila dihitung 144 SKS maka sarjana tersebut minimal telah belajar selama 432 jam ekstra pelajaran formal dibandingkan non sarjana. Lantas dimana letak salahnya hingga masih terjadi sarjana menganggur?

Pertanyaan ini telah mengganggu para pemerhati pendidikan dan sejumlah penelitian telah dilakukan. Yurchenko (2018) menemukan bahwa kesalahan adalah di sistem dan model ekonomi. Saat ini ekonomi dikontrol oleh perusahaan-perusahaan besar dan merekalah yang memiliki uang, membutuhkan karyawan dan menentukan apakah akan merekrut karyawan atau tidak.

Untuk itu, para sarjana tersebut harusnya mengetahui persyaratan yang dibutuhkan dan diinginkan perusahaan tersebut. Kerap terjadi bahwa perusahaan membutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi tertentu, misalnya X, tetapi yang datang adalah pelamar dengan kemampuan lainnya, sebut saja Y. Gap ini yang seharusnya diisi oleh perguruan tinggi melalui kurikulum dan sistem pembelajarannya.

Jika yang dibutuhkan adalah pengalaman kerja, perlu bagi perguruan tinggi untuk menyiapkan lulusannya melalui program magang kerja. Prinsipnya, semakin lama magang kerja sebelum lulus, akan makin optimal hasil pengalaman kerja yang diperoleh. Memang banyak perguruan tinggi yang menerapkan program magang.

Lebih dari Setahun:

Namun umumnya magang hanya dalam rentang waktu berkisar 4 bulan yang notabene masih sangat kurang dalam menimba pengalaman kerja. Jika memungkinkan, idealnya program magang dibuat 8-12 bulan atau bahkan lebih.

Program magang akan membuat mahasiswa paham dengan dunia kerja yang berbeda dengan dunia teori. Tak cuma itu, melalui magang mahasiswa dapat melengkapi teori yang dipelajari di kelas dengan kemampuan teknis dan praktis di lapangan. Magang bahkan juga bermanfaat bagi mahasiswa agar tidak canggung ketika bertemu dengan orang lain serta mulai memahami sistem perusahaan.

Pengalaman di President University, 90% lebih lulusannya mendapatkan pekerjaan dalam rentang waktu 0-6 bulan setelah wisuda berkat mengikuti program magang. Sebagian besar mahasiswa yang mengikuti magang akan diterima atau dipekerjakan oleh perusahaaan tempat dia magang.

Hal berikutnya adalah kemampuan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya. Dengan bumi yang tidak lagi bulat melainkan datar (Friedman, 2006), kemampuan bahasa asing, terutama bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, adalah suatu keharusan.

Bagaimana mungkin para lulusan kita bersaing dengan tenaga kerja dari Thailand, Filipina, Malaysia, dan lainnya jika bahasa Inggris masih menjadi kendala? Pelajaran bahasa Inggris memang telah diajarkan di semua perguruan tinggi, tapi kefasihan dalam berbicara dan menulis bahasa Inggris masih jarang sekali ditemukan dalam lulusan perguruan tinggi dari Indonesia. Bandingkan dengan lulusan Filipina dan Malaysia yang notabene memiliki rata-rata kemampuan bahasa Inggris yang lebih dari lulusan Indonesia.

Untuk itu, UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang di dalamnya mensyaratkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar wajib di perkuliahan, patut ditinjau ulang. Pastinya menjadi semakin baik apabila bahasa Inggris dapat menjadi bahasa pengantar wajib dalam perkuliahan.

Bayangkan betapa besar devisa negara yang harus keluar ketika banyak lulusan SMA atau bahkan SMP yang sekolah di luar negeri, karena menginginkan fasih berbahasa Inggris.

Kemampuan menggunakan bahasa asing adalah karena faktor kebiasaan, bukan karena pembelajaraan semata. Dalam perkuliahan di perguruan tinggi, pelajaran bahasa Inggris 1 dan bahasa Inggris 2 yang besarnya sekitar 6 SKS menjadi sangat kurang bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mahasiswa.

Bahkan karena menerima metode pelajaran yang usang, tak jarang mahasiswa justru belajar sendiri melalui Youtube atau Google yang lebih menarik dan lengkap.

Faktor utama ketiga adalah penampilan yang juga harus dibiasakan dari sejak masa perkuliahan. Bayangkan apabila Anda adalah seorang pimpinan perusahaan. Bersediakah Anda merekrut calon tenaga kerja yang banyak tato di tubuhnya, rambut gondrong tidak rapi atau memakai perhiasan yang berlebihan? Jawabannya tentu tidak.

Oleh karena itu kampus tidak hanya memberikan hard skills berupa pelajaran-pelajaran dalam kurikulumnya, tapi juga perlu soft skills melalui penampilan yang bersih, rapi, mempunyai tutur kata yang baik, kemampuan menulis lamaran dan presentasi yang memadai, serta soft skills lainnya.

World Economic Forum dalam laporannya menuliskan bahwa tiga faktor utama soft skills yang dibutuhkan tenaga kerja untuk bertahan di tahun 2020 adalah kemampuan menyelesaikan masalah secara menyeluruh, cara pikir yang kreatif, dan kreatifitas. Ketiganya adalah soft skills yang masih jarang diajarkan di perguruan tinggi di Indonesia.

Tak heran, jika banyak perguruan tinggi kemudian mendapat ‘predikat’ hanya sebagai lembaga percetakan gelar sarjana, yaitu perguruan tinggi yang terus melakukan wisuda setiap tahunnya dan menambah jumlah pengangguran sarjana.

Jika perguruan tinggi kita menekankan ketiga hal kebutuhan utama bagi perusahaan dan ketiga soft skills diatas, saya yakin jumlah pengangguran sarjana akan terus menurun dan bahkan akan menciptakan generasi unggul seperti cita-cita pendiri bangsa.

*) Penulis juga peraih Award lomba menulis Kemenag Kabupaten Lamongan, peraih Award pegiat literasi terbaik kepanduan Hizbul Wathan KWARDA HW Lamongan, peraih juara lomba Hari Pers Nasional, dan masuk nominasi sebagai Duta Baca Perpustakaan Kabupaten Lamongan 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *