Mahasiswa Melihat Solo dari Lubang Kunci

Ragam79 views

YOGYAKARTA, kabarOne.com – Surakarta atau Solo, kota penting bagi peradaban Jawa Tengah, menggeliat. Di bawah kepemimpinan Wali Kota Gibran Rakabuming Raka, Pemerintah Kota Surakarta giat membangun wajah baru kota budaya ini.

Solo seolah sedang membangkitkan memori kolektif sebagai kota budaya. Banyak event kebudayaan digelar. Sejumlah situs budaya direvitalisasi.

Terakhir, berdiri Tugu Jeris dari semen cor berlapis perunggu. Pura Mangkunegaran juga berbenah. Terakhir, Pracima Tuin – Taman Pracima – yang dulunya hanya diperuntukkan bagi keluarga Mangkunegaran, kini terbuka untuk umum.

Sebanyak 101 foto yang tersaji dalam pameran ini adalah refleksi 15 mahasiswa FISIP Universitas Atma Jaya (UAJY) atas “perubahan sosial” yang terjadi di kota Solo tersebut.

Selama satu bulan penuh mereka tinggal di Solo, setelah bolak-balik Yogya-Solo untuk melakukan prariset. Kelima belas mahasiswa tersebut tergabung dalam “Tim Studi Independen Multikulturalisme”, suatu proyek kolaborasi antara Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan FISIP UAJY. Sekaligus sebagai pelaksanaan program “Merdeka Belajar Kampus Merdeka” (MBKM) dengan pendekatan proyek.

Didukung oleh Kompas Gramedia, Bentara Budaya, Kognisi.id, PT PLN (Persero), Tanoto Foundation dan BRI, mahasiswa diajak keluar dari menara gading kampus untuk belajar melihat realitas sekaligus berkarya dengan standar profesional.

Dengan pendekatan tersebut mahasiswa dituntut menghasilkan karya berupa buku foto, film dokumenter dan pameran foto-video. Apa yang mereka hasilkan kemudian disajikan kepada publik sebagai pertangunggungjawaban akademis.

Proyek ini berawal dari inisiatif “Tiga Pilar Tuk Indonesia” yang digagas Penerbit KPG, kemudian disambut oleh FISIP UAJY. “Inisiatif ini coba menghubungkan kampus, media dan swasta dalam kerja-kerja kebaikan bagi Indonesia lewat jalur kebudayaan,” ujar Candra Gautama Editor Senior KPG.

Selama proyek berlangsung sejak pertengahan Januari 2023, mahasiswa dibimbing para mentor. Baik untuk penelitian sosial, videografi, fotografi, penulisan populer, produksi buku dan produksi pameran.

Mereka terbagi dalam tiga kelompok, tim riset dan penulisan, videografi, dan fotografi. Tema besar yang diangkat dalam proyek ini adalah “Silang Budaya di Tanah Raja” dengan lokasi riset Kota Solo.

Sebagai langkah awal, Penerbit KPG dan FISIP UAJY menggelar webinar dengan menampilkan kuliah umum Prof. Peter Carey bertajuk “Perbedaan Bisa Dikepangkan” pada 10 Maret 2023 lalu. Mereka juga diminta membaca literatur terpilih untuk memperkaya wawasan.

Dari tema besar tersebut mahasiswa kemudian diajarkan untuk menurunkan sub-tema riset agar lebih tajam. Berdiskusi dengan para mentor, mereka lantas menentukan narasumber dan objek riset.

Dalam mengurasi foto, mengedit foto dan video serta membuat narasi dan rencana produksi pameran — terutama dari aspek artistik — mereka dibantu para mentor dari Penerbit KPG.

“Dari proses kerja semacam itu, kami mendapat pelajaran penting. Kami dilatih rendah hati sebagai periset di tengah keterbatasan pengetahuan, waktu, tenaga dan dana,” ujar Heinrich Terra selaku ketua pameran.

Bambang Kusumo Prihandono, Dekan FISIP UAJY, mengatakan, pameran ini adalah cara mengomunikasikan kepada publik hasil riset. “Terutama riset visual dengan cara exhibition,” tandasnya.

Ini untuk mendekatkan kampus dengan masyarakat sekaligus memotret “perubahan sosial”.

Frase perubahan sosial dalam proyek ini diberi tanda kutip, karena riset yang dilakukan oleh Tim FISIP UAJY bukanlah riset mendalam dan komprehensif bertahun-tahun. Mereka hanya menangkap secuil perubahan sosial yang terjadi, bak nginceng dari lubang kunci.

“Kami memilih objek yang dianggap penanda penting perubahan sosial di Kota Solo,” paparnya.

Karena itulah pameran ini — juga buku dan video dokumenter — diberi judul Cerita dari Solo: Yang Tersua di Satu Masa.

Gabriel Haris, anggota tim video, mengatakan, foto-foto dalam pameran ini disusun sebagai “cerita bergambar”, terbagi dalam tiga bagian.

Untuk mendapatkan narasi, imajinasi dan “suasana batin”, mahasiswa sengaja memotret satu objek dengan sejumlah foto.

Bagian I, “Bagai Bayang-Bayang Masa Silam”, merupakan narasi tentang sisa-sisa kebudayaan masa lampau yang masih hidup dan dihidupi oleh pelakunya.

Bagian II, “Meniti Buih Perubahan Zaman”, bercerita tentang upaya dan dinamika Kota Solo dalam mempertahankan citra sebagai kota budaya yang berakar pada sejarah negeri silang budaya.

Dalam konteks ini, terjadi perbenturan antara legitimizing identity dan project identity di Solo. Patut dicatat, membangun kota budaya berbeda dari membangun branding kota budaya. Kota budaya senantiasa dihidupi oleh seluruh penghuninya.

Atas pemikiran tentang kota budaya tersebut, Halim HD, budayawan Solo, mengatakan, Solo menghadapi problem tradisi dan kebudayaan seperti kota lain.

“Dan itu masalah tata ruang. Segregasi ruang terjadi tanpa ada ruang perantara. Ruang antara inilah yang menciptakan kebudayaan bersama,” kata Halim HD.

Mangkunegara X mengakui bahwa Solo masih stagnan sebagai kota budaya. “Seni budaya perlu pengembangan, tetapi sesuai akarnya,” paparnya.

Pengembangan seperti apa, itu yang harus dipikirkan. “Memang cukup stagnan di Solo, butuh proses, waktu dan keaktifan. Terutama di pusat budaya seperti Mangkunegaran,” ujarnya.

Bagian III, “Menimba Kebijaksanan Leluhur”, berkisah tentang upaya keraton merevitalisasi perannya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Kita tahu, keraton adalah locus penting pendidikan kebudayaan di Jawa selain pesantren dan perguruan di desa-desa.

Pameran foto ini, yang dibuka oleh budayawan Romo Sindhunata SJ, sekali lagi, hanyalah satu kepingan puzzle tentang perubahan sosial di Solo. Satu kepingan yang dipotret oleh mahasiswa, yang tersua di satu masa. (Fan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *