Pilkada Serentak “Harusnya” Untuk Kesejahteraan Masyarakat

Kolom, Lipsus6,622 views
Ditulis Oleh : Oskar Vitriano, SE, M.Pub.Pol, CSO Dosen dan Peneliti Fakultas Ekonomi             Universitas Indonesia
Ditulis Oleh : Oskar Vitriano, SE, M.Pub.Pol, CSO
Dosen dan Peneliti Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia

Kabarone.com – Waktu bergerak sangat cepat sehingga tidak terasa kita sudah memasuki era baru pemerintahan nasional. Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK sudah melewati tahun-tahun pertamanya dalam menjalankan pemerintahan, berbagai sektor mulai dibenahi. Salah satu yang kemudian harus dilaksanakan sesuai perintah Undang-Undang No 1. Tahun 2015 adalah pelaksanaan “PILKADA SERENTAK”

Tahapan Pelaksanaan

Poin Pertama yang disepakati pada UU tersebut adalah bahwa pengajuan calon harus berdasarkan paket yaitu calon Gub/Bupati/Walikota beserta Wakilnya. Kedua adalah menetapkan syarat pencalonan melalui Partai Politik atau gabungan partai politik serta dari jalur perseorangan. Gelombang pertama akan berlangsung pada bulan Desember 2015 sebanyak 269 daerah baik itu ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Tujuan Pilkada Serentak

Sesuai dengan tujuan berdemokrasi kita yang semuanya harus mempunyai tujuan nasional masyarakat adil dan makmur, kemudian pertanyaan mengenai tujuan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat ini muncul.

Apakah kemudian Pilkada Serentak menghasilkan keuntungan bagi masyarakat atau hanya bagi elit semata?

Sesuai dengan latar belakang penulis yang merupakan ahli ekonomi maka apakah tinjauan ekonomi sederhana dari pelaksanaan “PILKADA SERENTAK”

Penghematan Waktu

Bagi masyarakat pelaksanaan Pemilu membutuhkan waktu satu hari minimal dalam pelaksanaannya. Apabila dengan memakai sistem yang lama maka Pemilu akan dilaksanakan sebanyak 4 kali yang terdiri dari: Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, Pilkada Gubernur, dan Pilkada Kabupaten/Kota. Bayangkan kalau waktu rata-rata adalah 6 jam masyarakat di TPS untuk memilih dan melihat hasil penghitungan suara, maka dibutuhkan waktu: 6 Jam X 4 Kali = 32 jam apabila dikalikan dengan jumlah pemilih yang kurang lebih 100 juta (data kasar untuk simplifikasi) maka rakyat Indonesia akan kehilangan 3,2 miliar jam waktu untuk melakukan proses pemilu. Pelaksanaan “PILKADA SERENTAK” tentu akan memangkas waktu tersebut 4 kali lebih cepat, sehingga masyarakat bisa melakukan aktifitas ekonomi seperti berdagang, bekerja, dan berusaha sesuai dengan bidang nya masing-masing.

Hal yang sama berlaku bagi penyelenggara PEMILU (KPU,BAWASLU,MK,DKPP, dll) perlu melakukan penyelenggaraan PEMILU sebanyak 4 kali (KPUD Dati II) yang berarti kemudian dikalikan dengan jumlah hari dari awal persiapan sampai dengan penetapan dan pelantikan calon terpilih. Dalam matematis apabila pelaksanaan Pemilu membutuhkan waktu 6 bulan bagi penyelenggara maka waktu yang dibutuhkan adalah 6 bulan X 30 hari X 465 Kabupaten/Kota X 4 Kali pelaksanaan Pemilu. Waktu yang seharusnya lebih singkat apabila pelaksanaan Pemilu menjadi serentak. Sehingga waktu yang ada bisa digunakan untuk memperbaiki pendataan penduduk atau membuat aturan Pemilu yang lebih adil, efektif dan efisien.

Apabila Pilkada tidak serentak, Kita bisa bayangkan selama satu periode pengurus partai hanya akan bertugas untuk mengikuti Pemilu sebanyak 4 kali mulai dari penjaringan calon sampai dengan pemenangannya. Padahal waktu yang ada bisa digunakan untuk penyusunan Undang-Undang yang baik, lakukan pengawasan yang baik, melakukan pengkaderan politik kepada calon pemimpin di masa depan. Pemilu serentak yang diusulkan adalah memilih seluruh jabatan publik dalam satu waktu. Baik presiden, gubernur, bupati/wali kota, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota. Dengan cara ini, pekerjaan hanya dilakukan sekali dalam satu tahun. Lima tahun berikutnya Partai Politik dapat bekerja untuk republik, tidak disibukkan pemilu.”

Penghematan Biaya

Bagi penduduk kebanyakan hari pemilu yang ditetapkan sebagai hari libur atau sibuk mengikuti pemilu dan tidak menjalankan aktifitas ekonomi adalah kerugian besar. Dengan memakai data diatas maka 32 jam yang individu gunakan untuk mengikuti Pemilu dikalikan dengan pendapatan rata penduduk adalah 10.000/jam maka kehilangan pendapatan seseorang menjadi 320.000 selama setahun. Bayangkan kalau ini berlaku pada 100 juta pemilih, maka secara kasar Indonesia akan kehilangan ratusan miliar rupiah dari para pemilih yang tidak bekerja. Hal ini berarti potensi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tidak termanfaatkan dengan baik.

Bagi penyelenggara Pemilu, sesuai dengan pendapat beberapa pendapat penyelenggaraan “PILKADA SERENTAK” akan mengasilkan efisiensi anggaran APBN dan APBD: “450 Triliun Rupiah” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, meskipun I Gusti Putu Artha (anggota KPU) mengatakan penghematan anggaran adalah RP. 10 Triliun.

Anggaran sebanyak ini seharusnya juga dapat digunakan untuk membangun infrastruktur perekonomian masyarakat sekitar, seperti misalnya jalan Raya, Irigasi, Jembatan serta proyek infrastruktur lainnya yang diyakini bisa mengangkat perekonomian masyarakat.

Jika biaya yang bak dihemat PILKADA SERENTAK, dua daerah di Indonesia sudah membuktikannya. Yaitu, Sumatra Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam, Penghematan pilkada serentak di Sumatra Barat pada 2010 lalu. Misalnya, sampai Rp 134 miliar. Saat itu, dana yang dialokasikan untuk pemilihan gubernur dan 13 bupati/wali kota adalah Rp 196 miliar. Tapi, karena logistik bisa di-share dan petugas pemilu, yang terpakai kemudian hanya Rp 62 miliar, atau menghemat Rp 134 miliar. Di Nanggroe Aceh Darussalam, pada pilkada serentak 2006 lalu, anggaran yang dikeluarkan juga hanya 38 miliar, atau 60 persen dari plafon. Saat itu, dilakukan pemilihan gubernur dan 19 bupati/wali kota.

Penghematan yang juga bisa diraih lewat pemilu serentak, adalah mengurangi secara jumlah penyelenggara pemilu. Sebab, jika pemilu digelar dua kali dalam lima tahun, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota, bisa dijadikan lembaga ad hoc. “Tidak perlu permanen lagi kalau kerjanya nggak banyak.

Keselarasan dengan Pembangunan Nasional

Pemilu di Indonesia yang dilaksanakan terpisah-pisah dan tidak terjadwal dengan baik menciptakan problema serius pada tingkat lokal maupun nasional, salah satunnya yaitu tidak berkesinambungannya perencanaan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah.

Menurut Conyers & Hills (1994), perencananaan didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang. dari definisi Conyer & Hills tersbut jelas bahwa dalam proses perencanaan diperlukan kesinambungan dalam pengambilan kebijakan guna peroleh hasil yang maksimal. Dalam konteks perencanaan pembangunan di Indonesia maka dengan sistem desentralisasi saat ini maka Pemda diberikan kewenangan untuk merekonseptualisasikan model perencanaan pembanganunan sesuai dengan kondisi yang ada di tiap-tiap daerah otonom. Akan tetapi proses perencaan tersebut tetap saja harus mendukung dan berkesinambungan dengan perencanaan pembangunan Nasional.

Berdasarkan konsep pembangunan nasional, perencanaan daerah dan penganggaran daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari (proses) manajemen strategis, dimana dalam proses formalnya diawali oleh penyusunan rencana strategis (renstra).  Dengan demikian, dalam aplikasinya di sektor publik, penganggaran daerah (juga) dikaitkan dengan renstra daerah. Dalam khazanah tata urutan konstitusi, “renstra daerah”, merupakan bagian dari “renstra nasional” untuk memenuhi tujuan-tujuan strategis dan tujuan nasional/negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

Secara sederahana alur perencanaan pembangunan kami sajikan dalam bagan alur 1 berikut ini (berdasarkan UU No.25/2004):

pilkada4

Dari bagan alur mekanisme perencanaan pembangunan tersebut jelas bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional merupakan satu kesatuan tata cara perencanaa pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan dipusat dan daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, perencanaan pembangunan daerah merupakan subsistem dari pernecanaa pembangunan nasional sehingga disusunlah pernecanaan pembangunan daerah tersebut sebagai satu kesatuan dalam sistem pernecanaan pembangunan nasional.

Permalasalahan yang terjadi adalah realitas dilapangan berkata sebaliknya. Akibat sistem pemilu kita yang tidak terjadwal dengan baik, terjadi disharmonisasi perencanaan pembangunan tingkat pusat-daerah. Hal ini terjadi akibat perbedaan periodesasi masa jabatan kepemimpinan politik anatara pimpinan eksekutif di pusat dan didaerah yang berbeda-beda. Semisal Presiden yang terpilh pada tahun 2005 telah menetapkan RPJM Nasional tahun 2005-2010, sedangkan satu daerah yang baru selesai melaksanakan Pilkada tahun 2008 akan menyusun RPJM 2008-2013, yang berbeda pula dan tidak mengakomodir keberlanjutan perncanaan pembangunan yang telah ditetapkan oleh kepala daerah periode sebelumnya, hal ini menciptakan missing link antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah.

Salah satu solusi logis untuk menjawab permasalahan diatas adalah melalui upaya pelaksanaan PILKADA SERENTAK. Pentaan ulang yang kami maksudkan adalah penyederhanaan pelaksanaan Pemilu yang lebih efektif, efisien, serta mampu menghadirkan output pemerintahan yang baik dan handal.Dengan penataan ulang jadwal Pilkada maka harmonisasi perencanaan jangka panjang, menengah dan tahunan antara pemerintah dan pemerintah daerah dapat dioptimalkan, Khususnya proyek-proyek infrastruktur strategis dapat dilempahkan kepada daerah melalui intensifikasi dan transfer apakah itu DAU ataupun DAK, sehingga pemerintah daerah apat terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan strategis nasional mapun daerah, dan hal ini hanya akan mungkin terlaksana apabila periodisasi kepemimpinan nasional dan daerah seragam, sehingga tidak akan muncul dokumen perencanaan pembangunan baru ditengah pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional yang telah ada.

Pilkada Serentak Solusi dengan Syarat

Keunggulan PILKADA SERENTAK dalam sudut pandang ekonomi seperti yang sudah dipaparkan diatas akan membawa dampak kesejahteraan masyarakat apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Adanya Komitmen semua pihak untuk menyelenggarakan Pemilu yang Bersih dan bebas dari manipulasi apapun.
  2. Partai Politik yang menyiapkan calon yang paling unggul untuk dipilih menjadi kepala daerah bukan berdasarkan Money Politik
  3. Masyarakat dan penegak hukum dengan seksama melakukan pengawasan yang melekat agar pelaksanaan PILKADA SERENTAK dapat berjalan sesuai koridor yang ada pada peraturan perundang-undangan.

Tabel Keunggulan Pelaksanaan PILKADA SERENTAK

pilkada2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *